SINCERITY - 13

1.9K 78 4
                                    

Kinar baru saja menandaskan sarapannya setelah bunda menaruh segelas susu diatas meja. Asap mengepul dari dalam gelas berisi susu putih, aroma roti bakar menusuk kehidungnya ketika bundanya juga menaruhnya diatas meja. Pandangan bunda tertuju pada putri bungsunya, yang terlihat lebih merenung dibanding dua hari sebelumnya. Rasanya aneh, setelah pulang dari pesta pernikahan teman Daniel, Kinar nampak sering melamun. Walaupun hanya beberapa hari nampak baik-baik saja. Bunda menghela napasnya pelan, ada rasa sedikit sesak dalam hatinya. Sebab masih mendapati putri bungsunya terlihat begitu rapuh. Ini salah, ini kekeliruannya. Bukannya mengawasi tetapi malah mempercayakan Kinar kepada orang lain.

"Ada apa, sayang?" Bunda mengelus rambut Kinar yang tergerai dengan penuh kasih sayang, begitu lembut. Namun Kinar hanya menggeleng pelan. Setelah dirasanya dia tidak lagi mendapat pertanyaan dari bundanya, Kinar memilih mendorong roda kursinya. Dan melajukannya meninggalkan ruang makan, juga sang bunda yang masih terdiam di tempat. Bahkan Rere sudah kewalahan menghadapi sifat Kinar, terkadang dia juga merasa kasihan. Melihat putri kecilnya yang begitu nampak menderita. Ini sudah empat minggu putri bungsunya terduduk dikursi roda.

Bersamaan dengan itu, sebuah nada dering berbunyi dari ponselnya. Rere segera melihat nama yang tertera pada ponselnya.

Abang

Itu berarti putra sulungnya yang menghubunginya, setelah beberapa saat Rere menjawab panggilan tersebut.

"Halo, bang, ada apa?" Tanyanya dengan nada begitu lembut.

"Gini, bun, teman Rizal kasih tahu ke Rizal kalau Kinar bisa disembuhkan. Gimana menurut bunda? Kalau masalah terapi nanti aku konfirmasi lagi sama dia," jelas Rizal dari seberang.

Berita yang disampaikan Rizal seperti bukan hal yang menarik, melainkan adalah kabar biasa yang seperti sering didengarnya melalui radio ataupun televisi. Rere masih menatap kemana arah perginya putri bungsunya.

"Bunda dengerin Rizal, kan?"

Untuk beberapa saat, Rere terperanjat mendengar suara Rizal dari sambungan telepon. Lantas dia segera menyahut.

"Bang, adik kamu kembali murung. Dia kaya baru pertama kali menyadari kondisinya yang baru sadar dari kecelakaan."

Tidak ada suara, Rizal nampak terdiam. Membuat kening Rere berkerut.

"Bang, kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi? Bunda rasa setelah Kinar pulang dari pesta pernikahan temannya Daniel, adik kamu murung aja loh, bang." Tutur Rere melanjutkan.

"Huh ... bun, ada saatnya Kinar butuh sendiri dan sebuah dukungan. Yang dilakukan Kinar akhir-akhir ini adalah dukungan. Bun, Rizal juga sudah dukung bahkan beri dia semangat buat lupain masalah yang berat. Tapi Kinar keras kepala, bun. Rizal juga lelah dengan sifat adik," jelas Rizal panjang lebar.

"Oke, bunda harus selalu kasih adik motivasi kalau begitu. Oh ya, tentang terapi adik bagaimana?" Mengalihkan pembicaraan itu lebih baik. Rere juga tidak ingin berlarut dalam kesedihan kedua anaknya, yang mana ia juga sama halnya dengan Rizal maupun Kinar.

"Nanti Rizal coba tanyakan lagi, bun. Sampai jumpa, bun."

Bunda memutuskan sambungan telepon setelah Rizal berpamitan.

Langkah bunda terhenti tepat didepan pintu kamar Kinar—hendak mengetuk, namun dia urungkan. Beliau tidak pernah merasakan seperih ini dalam hatinya, mendengar isakan tangis Kinar membuat bunda merasa semakin bersalah. Apapun yang terjadi, tak akan pernah merubah ikatan seorang ibu kepada anaknya. Seperti halnya bunda, ia tidak akan mungkin merasa bahagia melihat sang anak yang menderita. Bunda tahu, semua yang terjadi kepada putrinya adalah ujian dari Sang Maha Pencipta. Beliaupun harus terus bersyukur dan tetap bersabar dengan apa yang terjadi. Tapi, melihat putrinya yang rapuh bukanlah hal yang mudah. Ia bisa saja bersikap tenang, mendampingi dan selalu menasehati. Serta menghibur putrinya, tapi tidak bisa dipungkiri jika semua itu hanyalah topeng. Nyatanya ia tidak akan mampu menahan tangisnya setiap malam, setiap berlalu dari hadapan putrinya. Hanya saja, ia akan lebih bersikap dewasa dan ceria didepan anaknya. Sebab dia tidak ingin jika putrinya menganggap itu semua adalah kesalahan Kinar.

Memejamkan kedua mata lalu menarik napas dalam-dalam, setelahnya dia hembuskan melalui mulut perlahan. Seperti menguatkan dirinya. Kemudian, tangan kanannya menyentuh gagang pintu. Mencoba membuka pintu tersebut. Yang dilakukan bunda adalah menguatkan dirinya. Baru saja hendak melangkah masuk, bunda melihat seisi kamar Kinar benar-benar berantakan. Ia tadi tidak mendengar ada benda dibanting dari dalam sini. Hatinya tiba-tiba mencelus, perbuatan orang lain namun putrinya yang harus menanggung semuanya. Bunda ingin menangis, tapi dia kuatkan agar itu tidak terjadi. Bukan apa, sebab melihat barang-barang yang berserakan dilantai membuat hati Rere sakit. Ia tidak mampu hanya untuk berjalan mendekati putrinya—yang dia lihat sedang duduk dilantai dengan kepala yang ditaruh ditepi kasur.
Mau tidak mau, dengan langkah hati-hati bunda mendekati putrinya. Bunda berlutut disamping Kinar, tangannya terulur untuk membelai rambut lurus Kinar—yang mana sudah tidak begitu terawat seperti sebelumnya. Air mata Rere sudah menetes, melewati pipi kanannya. Sebelum Kinar menatapnya, ia segera menyekanya. Tidak ingin jika nanti putrinya tahu dia telah menangis.

Tak ada sahutan dan respon dari Kinar, gadis itu masih meneggelamkan wajahnya diatas kasur. Isak tangisnya masih terdengar memilukan.

“Ini bunda, sayang. Coba lihat bunda,” suara Rere terdengar lembut dan penuh kasih sayang. Namun tidak ada reaksi dari Kinar. Gadis itu masih dengan posisi yang sama.

“Kinar, bicara sama bunda. Apa yang membuatmu seperti ini?” Suara bunda terdengar lagi. Kali ini Kinar mendongak, dengan cepat wajahnya menatap bunda. Wanita setengah abad itu mengernyit, namun masih menegaskan jika dirinya ingin sekali putrinya memeluknya saat ini.

“Tinggalin Kinar, bun,” lirih Kinar dengan suara paraunya.

“Bunda ada untuk kamu, kenapa bunda harus tinggalin Kinar?” Tanya bunda tidak mengerti.

“Bunda, please, Kinar mohon.” Kinar menatap sendu wajah bundanya, memohon agar bundanya mau menuruti kemauannya.

Bunda menghela napasnya perlahan, dengan pelan ia beranjak dari duduknya. Masih dengan menatap putrinya—yang menatap kosong kearah lain—bunda berjalan mundur dengan pelan. Tanpa ia sadari, sebuah pecahan kaca diinjaknya hingga mengeluarkan darah segar dari telapak kakinya. Bunda masih tidak menyadarinya. Tatapannya masih tertuju pada putrid semata wayangnya, namun mulutnya terdengar rintihan yang lirih. Hingga sampai menutup pintu kamar Kinar, bunda baru menyadarinya. Pecahan kaca yang menancap ditelapak kakinya terasa perih, namun tidak seperih hatinya yang melihat Kinar terpuruk seperti itu.

Ia tahu ada hal lain yang disembunyikan Kinar, ada sesuatu yang mampu menyakitinya yang disembunyikan. Tapi Rere bisa apa, selain permintaan Kinar yang dia harus meninggalkan Kinar saat ini?  Menyandarkan tubuhnya didepan pintu kamar Kinar, tatapannya nyalang kesuatu arah dihadapannya. Memikirkan masalah putrinya yang seperti tidak ada akhirnya, bunda memejamkan mata kembali. Menghela napasnya dengan jengah, tubuhnya yang ringkih dia biarkan luruh—merosot—kelantai yang terasa dingin itu walau dipagi hari.

***

Lelaki itu mengamati sebuah ponsel yang digenggamnya, ada tulisan ‘Kinar’ dilayarnya. Ia bimbang, ingin melakukannya atau tidak? Ia tidak cukup memiliki keberanian itu, nyatanya dia masih takut. Apa yang terjadi sebulan lalu memang membuatnya merasa terbebani. Dan itulah mengapa dirinya tidak pernah bisa tertidur pulas ketika malam hari. Seluruh pikirannya seperti tertuju pada gadis itu, ia hanya takut menghubunginya. Jika nanti semua yang dipikirkan tidak terjadi pada kenyataannya. Ia masih takut.

***

To be continue

Aku mau tanya.
Hai 👋 gimana keadaan kalian?
Bonus update :)

SINCERITY [COMPLETE]Where stories live. Discover now