SINCERITY - 14

1.8K 86 2
                                    

Seharusnya dia sudah menghubungi gadis itu, mengatakan permintaan maaf dan sesalnya. Tapi itu semua tidak berjalan lancar seperti yang dia kira, bahkan sekarang ini dia masih dirundung ketakutan. Lelaki itu tahu dan menyadari jika dia memang pengecut, tapi apakah ada orang yang tidak akan melakukan hal sama seperti yang dilakukannya saat ini? Lelaki itu sudah duduk ditepi ranjang lama sekali, mungkin sudah sekitar setengah jam namun pikirannya masih sama, dia takut dan bimbang.

Sejak Aliva memberi saran kepadanya untuk segera meminta maaf kepada gadis yang dia sakiti, tapi dia tidak bisa melancarkannya sama sekali. Ini sudah keberapa kalinya Aliva mengatakannya. Hingga ponsel yang sedari tadi berada digenggamannya berbunyi, menampilkan nama Aliva dilayarnya. Lelaki itu menghela napas jengah, dia tahu mengapa perempuan itu menghubunginya saat ini.

“Ya, Al?” Ia memilih untuk menerima panggilan itu, seraya menahan jantungnya yang berdebar dengan kencang.

“Kamu kenapa? Suara kamu kaya orang susah?” Seru Aliva dari seberang, memang benar yang dikatakan Aliva. Suara lelaki itu begitu parau, terdengar seperti gelisah dan susah.

Arga menghembuskan napasnya dengan pelan, ia tak bisa mengelak mengenai pertanyaan dari Aliva. Perempuan itu seperti tahu apa isi hatinya. Dengan lirih dia berkata, “Aku butuh kamu Al. Bisa kita ketemu?”

Sementara diseberang, Aliva bisa mendengar suara Arga yang terdengar rapuh seperti nyaris kehilangan semua napasnya. Perempuan itu hanya bisa mengangguk dan mengatakan ya. Dalam hati dia bergitu takut jika pertemuannya dengan Arga lagi bisa membuat lelaki itu tidak bisa melupakannya, atau malah dapat melupakan gadis yang selama ini menunggu Arga. Tapi dia juga sedih dengan kondisi Arga, lelaki itu seperti memiliki beban yang terasa berat. Sehingga berbicarapun terdengar lesu.

“Ya, kita ketemuan dimana?”

Setelah bertanya dan tentunya mendapat alamat yang dikirim Arga, perempuan itu segera pergi menemui Arga.

***

Arga menatap langit dari atap gedung apartmennya, mungkin ini adalah sesuatu yang membuatnya merasa tenang. Ia duduk dengan menekuk kedua lututnya, ada Aliva disampingnya. Keheningan melanda, Arga masih sibuk dengan pemikirannya tentang seseorang. Sementara Aliva, perempuan itu hanya diam tanpa melihat kearah Arga. Sesekali dirinya menunduk, mendongak atau bahkan mengalihkan pandangannya kearah lain. Ia tidak ingin mengganggu suasana yang dimiliki Arga saat ini. Perempuan itu seperti tahu yang diinginkan Arga.

“Ternyata, lari dari masalah itu malah membuat kita terus kepikiran, ya?” kata Arga, lelaki itu masih tidak menolehkan kepalanya hanya untuk menatap Aliva yang berada disampingnya. Baginya menatap langit malam yang gelap itu lebih indah dari pada mengalihkannya pada objek lain.

Sementara itu, Aliva memalingkan wajahnya sesegera mungkin setelah mendengar suara bariton Arga. Lantas ia merubah air mukanya yang terkejut menjadi seceria mungkin, bibirnya membentuk sebuah senyuman yang manis. Sebelum dia menjawab ucapan yang terdengar sebuah pernyataan yang dikatakan Arga, ia mengubah posisi duduknya. Yang semula menghadap kedepan, menjadi menghadap kearah Arga.

May be—Aliva mengedikkan kedua bahunya lalu melanjutkan—, memangnya apa yang kamu rasakan?”

Terlihat Arga yang menundukkan kepalanya dengan helaan napasnya yang panjang,—dengan sabar—Aliva menunggu respon dari lelaki berambut cepak itu.

Dengan mendongakkan kepalanya, Arga terseyum miris karena mengingat kenyataan hidupnya yang benar-benar membuatnya menyesal. “Gue rasa sih gitu, tapi kenapa baru sekarang gue sadarnya?”

Perempuan berambut sepinggang itu mengulurkan tangannya kepundak kanan Arga dan mengelusnya lembut, seakan-akan pundak Arga akan rapuh jika perempuan itu menyentuhnya kasar. Ia berharap Arga akan memahaminya, jika memang semua yang dilakukan lelaki itu adalah salah dan akan membuat dirinya merasa bersalah. Memang benar adanya.

SINCERITY [COMPLETE]Where stories live. Discover now