SINCERITY - 12

1.9K 87 0
                                    

Terkadang seseorang yang tidak pernah berbuat jelek dan terjebak melakukannya, akan selalu memikirkan perbuatannya, mereka tak akan pernah tenang apabila belum menebus kesalahan-kesalahan itu. Sama halnya dengan Arga, lelaki itu tak pernah sekalipun melakukan perbuatan senonoh sebelumnya, namun pikirannya tidak pernah setenang dulu. Sebab dia lari dari masalahnya sendiri. Menghindar dari orang-orang yang tidak bisa dipungkiri jika mereka akan menghakimi Arga sendiri.

Arga, mengusap lembut sebuah bingkai foto bergambar dirinya dengan seseorang. Bukan siapa-siapa, hanya saja orang itu adalah masa lalunya---Aliva. Ia berpikir bagaimana bisa Ardan mendapatkan Aliva yang mencintainya dengan tulus, sementara Ardan sendiri tidak lagi menganggap perempuan itu ada. Arga mengerti, kemarahan Ardan waktu itu benar-benar membuatnya merasa menyesal. Yang tiba-tiba memutuskan hubungan begitu saja, lagi pula mereka telah bersahabat sejak bangku kelas tujuh SMP.

Menghela napas panjangnya dengan memejamkan kedua mata, lalu Arga menaruh bingkai fotonya bersama Aliva diatas nakas. Ia terlalu lelah memikirkan semua hal tentang cinta. Dan ia memilih untuk mengistirahatkan dirinya malam ini.

Arga hendak membaringkan tubuhnya, namun ia kembali menghela napas dengan jengah. Ia teringat sesuatu. Sebelum dia beranjak dari tempat tidurnya, Arga menatap ponselnya yang tergeletak diatas nakas. Lalu dengan sigap, meraih benda pipih persegi panjang itu. Ia mencari log panggilan dalam ponselnya, ingin memastikan sebuah nomor asing yang beberapa hari lalu menghubungi dirinya. Keningnya berkerut ketika mendapati sederet nomor tersebut.

+628224556xxxx is calling

"Halo?"

Arga mengangkat panggilan dari nomor tidak dikenal, ia berpikir jika nomor tersebut adalah dari pihak perusahaan tempatnya melamar kerja. Arga memang belum memperoleh sebuah pekerjaan semenjak dia baru mendarat di Surabaya---sepuluh hari yang lalu. Dan lelaki itu kini telah berada di Tasmania.  Ada sesuatu hal yang perlu dia urus. Oleh karena itu dia berangkat sebelum pihak perusahaan memanggilnya.

"Halo, siapa?"

Lagi, Arga mengatakan sapaannya yang kedua kali. Tapi hasilnya sipenelepon sama sekali tidak mengatakan apapun. Arga menatap layar ponselnya yang hanya tertera sederet nomor asing. Keningnya berkerut dengan jelas, lalu kembali dia dekatkan ketelinga kanannya. Hasilnya adalah, sambungan panggilan sudah terputus atau diakhiri. Membuat Arga mendengus sebal.

Bukankah waktu itu dia mendengar helaan napas seorang wanita dari seberang? Siapa wanita itu? Apakah wanita itu mengenalnya?

Sehari setelah Arga mendapatkan nomor tersebut, ia bertanya pada Aliva. Namun ucapan Aliva adalah itu bukan nomorku, Ga. Aku masih pakai nomor lamaku.

Arga menghembus napas dengan jengah, apa yang dipikirkannya selalu saja membuat kepalanya pening. Dia ingin untuk satu malam saja tidak ada yang mengganggu pikirannya. Ia ingat, ucapan Aliva tadi siang.

"Ga, aku lihat Kinar dipesta pernikahan kak Jonathan."

Ucapan Aliva membuat wajah Arga memucat, mendengar nama Kinar disebut hatinya terasa tertohok. Ada rasa bersalah menggerayang otaknya. Ia tidak mampu hanya untuk sekedar mengingat semuanya.

Tangan Aliva terulur untuk mengelus lembut punggung tangan Arga, memberi kekuatan agar lelaki itu mampu menahan ingatannya.

"Gu, gue, nggak tahu harus ... gimana?"

Mendengar hal itu, Aliva menghela napasnya pelan. Sejujurnya dia cukup merasa kasihan pada Arga, tapi dalam hal ini Arga juga bersalah.

"Ga, harus aku akui. Kamu salah besar dengan hilang tanpa jejak maupun kabar. Aku aja yang baru tahu kamu ada disini cukup terkejut."
"Al, bilang, gue harus gimana?"
"Temui dia, kamu harus bicara berdua dengan dia."
"Harus, ya?"

Kedua bahu Arga bergerak merosot, seperti nyawanya hilang entah kemana?

Arga menggelengkan kepalanya, harusnya dia memyadari saran Aliva adalah yang terbaik. Tapi yang menjadi ketakutan Arga ialah, apakah Kinar mau menemuinya? Setelah sekian lama dia menghilang tanpa jejak. Bahkan Arga tidak tahu bagaimana keadaan gadis kecil itu?

"Argh!"

Arga mengeram dengan kesal, kedua tangannya mengusap kasar wajahnya yang lesu itu.

"Gue harus gimana? Gue belum siap ketemu dia," desisnya.

***

Sudah empat minggu lebih Arga menghindar dari masalahnya, tak ingin berlarut-larut dalam kesalahan yang terus membelenggu. Arga tahu, hari ini adalah hari dimana dia melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya. Dan ia tidak mampu hanya sekedar menyelesaikannya. Dan lebih memilih untuk menghilang tanpa jejak. Arga tidak pernah merasakan gejolak hati seperti akhir-akhir ini, ia belum pernah merasakan bagaiman rasa bersalah dan penyesalan itu? Tapi entah mengapa, skandal tak disengaja mampu membuatnya terus menerus memikirkannya.

"Bengong aja, lagi mikir apaan sih?"

Seseorang menepuk pundak Arga dengan keras, sehingga Arga berjengit. Ia menoleh, dan melihat wajah perempuan itu yang tersenyum kepadanya. Ia merasa sedikit lebih rileks jika melihat Aliva.

"Mikir apa? Kalau kebanyakan bengong, nanti malah ditegur bos, loh." Aliva terkikik sendiri menyadari ucapannya yang terdengar konyol itu. Tapi Arga hanya membalasnya dengan sebuah senyum tipis.

"Ga, saran aku kemarin gimana?" Tanya Aliva dengan nada serius.

Arga mendengus jengah sebelum menjawab pertanyaan Aliva, lantas dia berkata, "gue bingung. Gue belum siap ketemu dia."

Aliva ikut menghela napasnya, baginya Arga sedikit keras kepala. Tidak mudah membujuk atau merayu lelaki ini. Sebab dia punya pendirian yang utuh.

"Ya udah, deh, bos aku kayanya udah nunggu. Aku duluan, ya," pamit Aliva. Sebelum berderap meninggalkan Arga, Aliva sempat menepuk pundak lelaki itu agar sedikit memperoleh dukungan dan semangat darinya.

Sepeninggal Aliva, Arga kembali terdiam. Mungkin Kinar akan membencinya, mungkin juga Kinar berusaha untuk tidak akan mengingat kejadian itu, tapi apakah Arga mampu mendatangi gadis itu. Dan berbicara berdua bersama Kinar? Gadis itu terlalu rapuh, jika Arga mendefinisikan. Tapi dia juga paham sifat Kinar yang selalu ceria dan terlalu obsesi kepadanya.

Memikirkan hal itu membuat kepalanya terasa pening, yang dilakukan Arga adalah beranjak dari kursi kerjanya dan melangkah menuju toilet. Berniat membasuh wajahnya dan menenangkan pikirannya.

***
Jujur aja, aku sedikit bingung sama jalan cerita ini. Tapi aku berusaha maksimal supaya bahasa dan alurnya bisa dimengerti pembaca. So, jangan ngerasa bosan sama cerita ini. Karna cerita yang absurd dan membingungkan.

Thank's juga yang sudah baca, please, give me a vomment ...

To be continued

SINCERITY [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang