SINCERITY - 18

1.6K 72 0
                                    

SATU TAHUN KEMUDIAN …

Seorang wanita berusia setengah abad itu berjalan pelan di lorong rumah sakit, ia sendirian seperti hari-hari biasanya. Selama tinggal di Singapura, ini selalu menjadi kebiasannya. Terlepas dari semua itu, ingin sekali dia menyudahi semua ini. Meninggalkan negara ini dan melupakan semua kenangan pahit yang selalu terngiang dimemori otaknya. Ia tidak sanggup jika melihat seseorang yang dia sayangi begitu menderita separah ini. Hanya karena masa lalu, dan kehilangan seseorang mampu membuatnya seperti ini. Sudah satu tahun lamanya, sudah dua belas bulan dan semua masih sama. Tidak ada yang benar-benar tahu jika dia menyimpan semua luka ini sendirian. Kecuali putra sulungnya.

Wanita berusia setengah abad itu segera menuju ruangan yang dituju, tanpa mengatakan tujuannya pada resepsionis rumah sakit. Sebab dia terlalu sering dan lama berkunjung kemari. Hanya untuk menjenguk gadis itu. Yang dia kunjungi bukanlah rumah sakit biasa, tapi lebih dari itu. Rumah sakit jiwa yang menampung orang-orang yang memiliki keadaan psikis rendah. Selangkah demi selangkah dia menggerakkan kedua kakinya, tidak jarang perawat-perawat sedang mengurus orang-orang itu. Miris memang, tapi hanya ini yang bisa dilakukannya. Tuhan adalah Yang Maha Tahu, apa yang terjadi kepada manusia ciptaan-Nya di bumi.

“PERGI DARI SINI, AKU INGIN SENDIRI!”

Teriakan orang yang dia sayangi masih terngiang jelas ditelinganya, ini sudah satu tahun lamanya. Tapi semuanya nampak tidak berubah, malah keadaan semakin terpuruk.

“JANGAN SENTUH, AKU TAKUT DENGANMU! PERGI! PERGI!”

Terbayang diotaknya, gadis berusia dua puluh tahun---satu tahun yang lalu---memberontak ketika kedua tangannya dicekal oleh pihak rumah sakit. Gadis berusia dua puluh tahun itu nampak ketakutan, perintah dan cacian dia keluarkan dengan teriakan memekkan telinga.

Masih diingatnya, sebuah suntikan ditusukkan kekulit gadis itu. Alih-alih menyuntikkannya, agar gadis itu merasa tenang. Tak ayal jika gadis itu segera memejamkan kedua matanya perlahan dan tubuhnya yang tiba-tiba melemas begitu saja. Wanita berusia setengah abad itu meneteskan air matanya ketika mengingat kejadian itu, melihatnya secara langsung membuatnya tidak tega.

“Selamat pagi, bu.” Seorang wanita yang lebih muda darinya menyapanya, wanita itu berpakaian putih bersih. Reina, begitu tulisan yang terdapat di name-tagnya.

“Selamat pagi,” balas wanita itu berusaha tersenyum lebar. Walaupun dia menyimpan seribu duka dalam hatinya.

“Mau menjenguk, bu?” tanya gadis berpakaian putih itu.

“Iya, mumpung masih pagi. Kalau malam mungkin tidak diperbolehkan,” ujarnya. Alih-alih menjawab pertanyaan gadis  itu.

Gadis bernama Reina itu mengangguk dan kembali tersenyum sebelum berpamitan untuk pergi dari sana, dalam diamnya wanita berusia setengah abad itu menatap sedih punggung gadis itu yang perlahan menjauh darinya.

Dia seumuran putriku, andai saja semua tidak terjadi. Pasti dia sudah menjadi seorang dokter. Batinnya miris.

Tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, wanita itu kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

Beberapa menit yang lalu, ia telah sampai pada ruangan yang ditujunya. Saat ini, ia sedang berdiri didepan jendela kaca yang lebar. Sehingga memperlihatkan siapa dan apa yang ada didalamnya. Air matanya luruh begitu saja, lolos membasahi kedua pipinya yang keriput. Ia menangis, dengan menggigit bibir bawahnya untuk meredam tangisnya agar tidak bersuara. Hanya ini yang bisa dan selalu dia lakukan. Tanpa mendekati gadis yang sedang duduk menatap keluar jendela—lebih tepatnya menatap kosong dihadapannya—sebab itu tidak akan mungkin bisa. Pernah dia mendekatinya, menyentuh rambutnya guna mengelusnya lembut. Karena itu yang membuatnya merasa senang, juga sebagai wujud akan rasa cinta dan sayangnya. Namun gadis itu malah menatapnya tajam, mendorongnya dan menyuruhnya pergi menjauh dari hadapannya. Membuat wanita setengah abad itu tidak bisa berbuat apapun selain menjauh. Dan memilih untuk menatapnya dari jauh, hanya untuk memastikan keadaannya saja.

Saat ini, rasa itu sama. Hatinya sakit, dadanya terasa sesak. Dia, gadis berusia dua puluh satu tahun. Yang tengah duduk diatas kursi roda dan menatap kosong itu adalah putrinya. Putri semata wayangnya, yang selalu membuatnya bangga akan semua hal yang dilakukan putri kecilnya. Namun saat ini dia begitu rapuh, seperti manusia tanpa nyawa. Membuat hatinya mencelus jauh, juga membuat dirinya merasa gagal menjadi seorang ibu.

“Bunda, nanti kalau besal Ina pengin jadi doktel. Kata Ika, doktel itu punya pekeljaan yang mulia. Benal, gak bun?”

Dulu, gadis kecilnya itu ingin menjadi seorang dokter. Mengobati orang-orang sakit, dan yang selalu dipikirkan putri kecilnya itu adalah pekerjaan dokter begitu mulia. Tentunya dia hanya bisa tersenyum dan mengamini setiap ucapan gadis kecil darah dagingnya itu.

Sejujurnya, dia ingin semua yang dicita-citakan putrinya itu menjadi kenyataan. Tapi apa boleh buat? Bukannya menjadi seorang dokter, gadisnya malah mendekam di rumah sakit. Setidaknya semua ingatan tentang putri kecilnya dulu membuat hatinya menghangat.

“Dokter apa yang kamu mau, nak? Menjadi ahli psikolog adalah tujuanmu kuliah waktu itu, tapi kenapa kamu yang jadi seperti ini?” gumamnya miris, masih menatap putri kandungnya itu.

Sementara, gadis itu masih diam. Duduk diatas kursi roda tanpa inisiatif untuk menggerakkan tubuhnya hanya sekedar memperbaiki posisinya saat ini. Semua dunia yang selalu menggodanya, membuat orang-orang tertarik untuk lebih memilih mementingkan urusan duniawi, tapi tidak baginya. Ia malah diam seolah ia sebuah manekin yang hanya dipajang tanpa fungsi yang begitu penting.

“Aku cinta kakak, kenapa kakak nggak pernah balas perasaan aku?”

Ucapannya terngiang ditelinganya. Dua tahun yang lalu ia mengucapkannya pada seseorang yang dia cintai—sudah sejak lama. Tapi tentang perasaan, siapa yang ingin memaksakan?

Hingga suatu malam, sebuah dorongan membuatnya melakukan hal yang tidak harus dilakukannya. Ia melihat lelaki yang dipanggilnya kakak itu tengah mabuk tidak jelas. Meracau dan berjalan sempoyongan. Dengan cepat, gadis itu membantunya berdiri. Mengantarkannya pulang sebab keadaan yang tidak memungkinkan untuk lelaki itu pulang sendirian. Sebuah hal tidak terduga terjadi begitu saja. Dan malam itu adalah malam dimana ia merasa hancur.

Dengan tersentak, ia menggeram lirih. Ingatan itu membuat pengaruh besar bagi dirinya. Menundukkan kepala, memejamkan kedua mata dan kedua tangannya sudah menutupi kedua telinganya. Tanpa sadar, gadis itu berteriak sekencang mungkin hingga seseorang yang memerhatikannya merasa dikejutkan.

“Arghh!!” geramnya dengan kedua rahangnya mengerat kokoh, masih dengan menutupi kedua telinganya dengan kedua tangannya.

Wanita setengah abad itu panik, sesegera mungkin ia memanggil pihak yang bersangkutan. Mengatakan jika putrinya nampak tidak baik-baik saja.
Setelahnya, dua orang perawat wanita itu menghampiri gadis didalam ruangan. Memegang bahunya dan mencoba menenangkannya. Tapi yang terjadi adalah, gadis itu mendorong kuat dua perawat yang berhasil mencekal kedua tangannya.

“JANGAN SENTUH! PERGI DARI SINI!” Pekiknya.

“Kinar—” wanita paruh baya itu mendekat kearahnya dengan menggumamkan namanya, air mata sudah membasahi kedua pipi keriputnya. Hingga gadis yang dipanggilnya Kinar itu menoleh.

***

To be continued

Biarpun absurd, aku masih tetap dan ngotot untuk next cerita ini sampai tuntas. Karena ini adalah hobiku, so siapapun yang baca atau tidak aku tetap akan lanjut.

SINCERITY [COMPLETE]Where stories live. Discover now