DUA PULUH EMPAT

189K 18.9K 577
                                    

Sandra duduk di samping Mina. Sama seperti siswa-siswi lainnya, ia kini menunggu giliran untuk melaksanakan tes lompat jauh yang dilakukan hari itu juga. Tak hanya menonton, mereka juga berteriak-teriak seakan siswa yang melakukan praktik lompat jauh itu adalah atlet tingkat kelurahan.

Sandra memerhatikan dengan cemas, hampir semuanya yang dites digoda atau lebih tepatnya menjadi bahan bercanda oleh mereka yang sudah atau belum melaksanakan tes.

Bagas misalnya. Teman sekelas Sandra itu memang cenderung bertubuh tambun, hingga teman-temannya yang lain bercanda ketika Bagas telah melakukan lompatan dengan berteriak gempa bumi! Gempa bumi!

Kemudian ada Bintang, cewek kelas yang terkenal lemah gemulai. Meskipun lebih pantas disebut lemah lunglai.

Gerakannya seakan tidak bertenaga, berlari untuk ancang-ancang melompat pun berjalan lambat. Hingga beberapa menyeletuk bahwa mereka mengantuk saking lamanya Bintang melompat.

Satu persatu siswa yang dipanggil melakukan lompat jauh, hingga kemudian tibalah giliran Edgar. Sandra menoleh dan mengernyit tidak mengerti ketika siswa lain mengoceh lagi.

"Awas woy awas ada cheetah mau lewat."

Sandra tidak bingung menoleh ke arah Mina. "Na."

Mina menoleh. "Apaan?"

"Mereka kenapa?" tanya Sandra sembari menunjuk cowok-cowok yang anehnya memiliki mulut yang lebih berisik dari cewek teman sekelas Sandra.

"Oh. Larinya Edgar cepet, makanya mereka kayak gitu. Biasa, kebanyakan cowok di kelas kita itu cowok layangan, cowok alay."

Sandra mengangguk-angguk mengerti. Ia lalu memerhatikan Edgar yang sudah siap di ujung lintasan, cowok itu menyipit karena sinar matahari membuat penglihatannya menjadi tidak terlalu jelas, silau.

Dan ketika peluit dibunyikan, Edgar berlari-lari kecil sejauh beberapa meter, seperti yang lainnya. Baru kemudian berlari dengan kecepatan mengagumkan, membuat Sandra membelalak kaget.

Edgar melompat dan mendarat di kotak pasir itu, jaraknya jauh, mungkin yang paling jauh dalam kelas bahkan satu angkatan. Dia memang pandai dalam bidang olahraga.

"Jauh banget," gumam Sandra.

Mina yang mendengar itu mengangguk-angguk. "Edgar emang suka nggak kira-kira deh kalo lompat. Deket aja kali jangan jauh-jauh gitu, eh tapi mending sih daripada lompat dari hati ke hati kayak Sanggi."

Mina mengembuskan napas perlahan, wajahnya lesu.

Yah, baper.

Sandra hanya bisa tersenyum kikuk. "Sabar ya," ucapnya.

Edgar kembali ke tempat ia duduk semula, mengabaikan sorakan-sorakan berlebihan yang diberikan teman-teman sekelasnya. Kalau eskul cheers membuka anggota baru, mungkin mereka bisa masuk karena semangat mereka yang meluap-luap.

Meskipun membayangkannya saja sudah geli. Ketika mayoritas dari mereka sudah memiliki kumis yang tumbuh tipis, menggerakkan tubuh dan mengangkat tangan sesuai irama.

Satu! Dua! Tiga!

Satu dua tiga!

Hobah!

Tarik Mang!

Murid-murid selanjutnya melakukan tes dengan suasana biasa, masih mendapat sambutan heboh, atau justru gelak tawa jika dia jatuh tersungkur di kotak pasir besar itu. Memang kurang ajar, tetapi maksud mereka hanya bercanda, tidak lebih.

"Mina."

Mina berdiri, menepuk-nepuk celana olahraga karena merasa bagian pakaiannya itu kotor, tidak sadar bahwa debu-debu itu beterbangan dan membuat Sandra terbatuk. Untung saja Edgar tidak terlalu memperhatikan. Dia masih saja melamun, entah apa yang dipikirkannya.

Seperti latihan tadi, Mina mendarat dibarengi dengan suara aneh dari mulutnya. Yang sukses mengundang gelak tawa yang lain.

Saat kembali menuju Sandra, teman-temannya mulai mengoceh lagi.

"Mina! Iiikkk," serunya, mencoba meniru suara seperti kucing keinjak ekornya, seperti suara Mina tadi.

"Hih! Cowok-cowok nyebelin," ketus Mina. Ia cemberut, kesal setengah mati.

Sandra sudah mempersiapkan mentalnya karena mau tidak mau ia harus melakukan praktik itu dan mendapatkan respon seperti yang lain, tetapi tiba-tiba guru olahraga mereka​ mengangkat telepon.

Hampir semua siswa di sana mengernyit bingung, mereka kira guru olahraga jarang membawa ponselnya jika mengajar.

Giliran Sandra ditunda, karena guru mereka itu ada urusan mendadak. Ia mengembuskan napas lega, tetapi anehnya Sandra justru ingin mencoba, hitung-hitung latihan untuk tes nanti.

"Na, ajarin gue ya."

Mina menggeleng, senyum penuh arti terbit di wajahnya. "Lo minta ajarin sama Edgar aja, dia kan lompat udah kayak kodok."

"Tapi-"

"Edgar! Woy! Ke sini!" teriak Mina, mengabaikan pelototan gratis yang dilayangkan Sandra.

Edgar mendekat dengan enggan, lalu menaikkan alis tanda bertanya.

"Sandra katanya pengen minta diajarin lompat jauh, lo kan bisa tuh, ajarin ya. Boleh kan? Boleh dong! Ya udah gue duluan, bye!"

Mina melambai dan berlalu begitu saja, meninggalkan Sandra dan Edgar dalam suasana yang canggung.

"Mmm... nggak jadi, mending kita ke ke-"

"Ayo," potong Edgar. Ia berbalik, lalu berjalan menuju ujung lintasan di mana biasanya para siswa memulai.

Sandra ​mengikuti di belakang dengan ragu.

Edgar tiba-tiba menunjuk satu persatu bagian lintasan, bersamaan dengan itu ia menginstruksikan sesuatu. Super singkat, seperti biasanya.

"Lambat, lari, lompat." Edgar menunjuk batas, lintasan yang panjang lalu papan kayu yang menjadi acuan untuk melompat. Jika melewati papan kayu itu maka tidak dihitung.

"Mulai."

Sandra menurut, bergerak lambat lalu berlari secepat yang ia bisa, melompat pada akhirnya dan mendarat dan hampir saja terjatuh.

Ketika berbalik, Sandra melihat Edgar menggeleng. "Dis," ucapnya.

Itu berarti diskualifikasi, kaki Sandra melewati papan kayu itu.

Edgar memilih berdiri di dekat kotak pasir, sedangkan Sandra kembali ke tempat semula.

Dalam percobaan kedua, Sandra berhasil melompat, hanya saja jaraknya bisa dibilang dekat. Hanya satu meter saja dari papan kayu itu. Terlalu dekat malah.

"Lagi," titah Edgar.

Sandra mengembuskan napas berat, ia harus mengulanginya lagi, dan itu berarti ia harus berlari dengan kecepatan setinggi-tingginya. Sandra takut bahwa tubuhnya akan limbung lalu jatuh.

Pada percobaan ketiga, Sandra berhasil. Malah jaraknya menjadi satu meter setengah, setidaknya ada kemajuan.

Sandra tersenyum, ia cukup puas. Ia menoleh dan menatap Edgar yang juga tersenyum tipis ke arahnya.

Sandra menyadari sesuatu.

Ketika mereka berdua saling melempar senyum, maka perasaan keduanya pun semakin membesar.

***

Cold Couple (SUDAH TERBIT)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu