SEPULUH

279K 23.1K 1.6K
                                    

Edgar meletakkan tasnya dengan setengah membanting ke atas tempat tidur, mood-nya yang tadinya bagus kini berubah berantakan gara-gara dua orang yang dilihatnya tadi. Padahal sebelumnya suasana hatinya sudah​ cerah akibat ia telah mengklaim Sandra dan mengantarkan cewek itu pulang, mengapa harus dirusak oleh kehadiran dua orang yang selalu Edgar benci dalam hidupnya?

Edgar membuka satu persatu kancing seragamnya, lalu berbaring di atas tempat tidur dengan mata menatap langit-langit kamar. Pikirannya melayang tak tentu arah, mengenang kembali masa kecilnya yang menyenangkan, beralih ke Sandra dengan segala sikap kakunya, lalu merindukan ayahnya yang sudah tiada. Edgar mendesah pelan, semua ungkapan yang ia selalu ingin teriakkan keras-keras nyatanya tak akan mampu membangkitkan kembali ayahnya.

Jadi percuma saja Edgar larut dalam kesedihan, biarkan memori yang berbicara akan semuanya.

Edgar duduk ketika mendengar pintu kamarnya diketuk sebanyak tiga kali, tak lama ibunya masuk dan menutup kembali pintu dengan pelan, seakan benda itu akan ambruk jika ia membantingnya keras-keras.

"Edgar, Mama mau bicara sama kamu."

Edgar hanya menatap ibunya sebagai respon.

"Kamu tadi seharusnya ngasih salam ke bibi sama paman kamu, minimal senyum dikit aja kayak kemarin-kemarin. Mereka keluarga kita, jadi kamu juga perlu sopan santun."

Edgar mendengus. "Buat apa sopan ke bajingan kayak mereka."

"Edgar, udah berapa kali Mama bilang jangan sebut mereka seperti itu."

"Tapi mereka pantas disebut lebih buruk."

Ibu Edgar mengembuskan napas lelah, ia duduk di kursi dekat meja belajar Edgar. Mengusap wajahnya yang tak lagi terlihat muda akibat guratan-guratan lelah akibat telah menempuh kehidupan yang cukup lama. "Mereka itu baik Edgar."

"Baik?" tanya Edgar dengan nada sinis yang kentara.

"Bagaimanapun juga mereka keluarga kita."

"Menurutku bukan."

"Edgar."

"Sebaiknya usir mereka dari sini."

"Edgar! Jangan berbicara seperti itu, tidak sopan."

Tapi Edgar tetap pada pendiriannya, rahangnya mengeras. "Mereka itu benalu."

Ibu Edgar mendesah, menyadari bahwa anaknya itu sama benar dalam hal pendirian dan keras kepala dengan mendiang suaminya. Membantah Edgar tidak ada gunanya. Bukan berarti Edgar anak yang manja yang permintaannya harus selalu dituruti, tetapi jika Edgar sudah berprinsip A, maka sampai ada pekerjaan mengelitiki mayat sampai bangun pun Edgar tidak akan berubah prinsipnya.

"Oke, jadi kamu mau mereka pulang?"

Edgar sontak mengangguk tegas.

"Baiklah, Mama akan nurutin apa yang kamu mau. Tapi kamu harus bertindak sopan lain waktu."

Edgar menatap ibunya yang kini bangkit dan keluar dari kamar, diam-diam ia mengikutinya untuk melihat apa yang selanjutnya terjadi.

Ibu Edgar menarik napas dalam-dalam, ia tersenyum ketika bertemu dengan adik dan suaminya di ruang tamu.

"Masih mau di sini Cil? Kakak mau keluar dulu, mau ngurus beberapa pelanggan kue. Nggak papa kan di sini sama Edgar?"

Tika, ibu Edgar tahu bahwa Cecil adiknya sama sekali tidak menyukai Edgar, walaupun Cecil selalu berusaha bersikap ramah dengan anak semata wayangnya itu.

Tak lain karena Edgar selalu berlaku sinis padanya, bahkan kadang-kadang membuat Cecil dan suaminya sedikit takut dengan remaja yang baru kelas dua belas SMA itu. Pernah Edgar yang kesal dengan kehadiran mereka di rumahnya bermain-main pisau di dapur, memainkannya hingga terdengar suara khas ketika benda tajam sedang diasah.

Cold Couple (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now