LIMA BELAS

246K 21.2K 446
                                    

Edgar memarkirkan motornya di halaman sebuah toko alat tulis yang cukup besar. Tidak banyak kendaraan yang terparkir di sana, bahkan hampir kosong. Keadaan di dalam juga nampaknya tidak terlalu ramai. Maklum, karena saat ini bukan waktunya para pelajar berburu alat tulis seperti saat tahun ajaran baru.

Sandra turun, melepas helmnya. Begitu juga dengan Edgar.

Sandra menyisir rambutnya yang agak acak-acakan dengan tangan, membuat Edgar sempat memperhatikan. Matanya yang tajam melihat kejadian itu dengan tatapan aneh, seperti hendak memerangkap Sandra dalam suatu tempat. Tapi bersikap melindungi.

Sandra masuk terlebih dulu, menghampiri rak yang menjajakan berbagai kertas lipat dengan berbagai merk, ukuran dan ragam warna. Mulai dari yang hanya berwarna di satu sisi, sampai kertas lipas berkualitas bagus yang tidak terlalu tipis.

Sandra diam sebentar, berpikir kertas lipat mana yang harus ia beli. Akhirnya, Sandra mengambil satu yang ukurannya besar, lalu satu yang berukuran sedang.

Sandra berbalik setelah selesai memilih, membelalakkan matanya ketika ia langsung berhadapan dengan Edgar. Sandra meringis, merasa jantungnya berdebar tidak karuan. Dengan susah payah dirinya menelan ludah, lalu melangkah dengan kikuk ke samping. Baru kemudian berjalan ke kasir.

Sandra baru saja ​hendak menyerahkan uang untuk membayar ketika Edgar menggeleng pelan dan menyerahkan satu bungkus lagi kertas lipat yang berukuran besar, tak lupa uang sebagai pembayaran​.

Sandra tidak bisa menolak ketika uang Edgar sudah diterima dan diberi kembalian, belanjaannya juga sudah dibungkus dalam kantung plastik. Jadi Sandra mendesah pelan, memilih diam.

Edgar berjalan keluar, meninggalkan Sandra yang tersenyum kikuk ke kasir sebelum menyusul langkah Edgar yang panjang.

Sinar senja yang menerpa wajahnya membuat Sandra sempat memicing, ia menghampiri Edgar yang sudah memakai helm dan menyodorkan helm lain untuk Sandra.

Sandra memasukkan kertas lipatnya ke dalam tas, lalu mengulurkan selembar uang.

Dari balik helm, Edgar mengernyitkan dahi. Untuk apa Sandra mengulurkan uang kepadanya? Untuk mengganti uangnya tadi?

Edgar menggeleng, ia membuka mulutnya dan berbicara agak keras sehingga bisa didengar Sandra. Mengucapkan satu kata singkat, yang terdengar seperti suatu perintah mutlak.

"Naik."

"Nggak papa?" tanya Sandra, masih berhubungan dengan Edgar yang membayar apa yang dibelinya tadi.

Edgar lagi-lagi menggeleng.

Sandra mengembuskan napas pelan, menerima helm yang disodorkan Edgar dengan senyum terima kasih. Walaupun terlihat janggal. Jujur, Sandra tidak berbakat untuk terlihat bahagia dengan senyum lebar atau tawa yang menggema.

Karena selama ini Sandra seakan hidup dalam hampa, membuat segalanya terasa datar dan sangat biasa. Sandra bahkan lupa kapan terakhir kali ia tertawa terbahak-bahak, film komedi pun gagal membuat Sandra sampai menitikkan air mata saking lucunya.

Edgar melajukan motornya dengan kecepatan sedang, bahkan cenderung lambat. Selain karena lalu lintas mulai padat karena waktunya para pekerja pulang dari kantor, Edgar sengaja melambatkan laju motor karena ingin momen itu berlangsung lama.

Edgar, dengan wajahnya yang datar memang terlihat tidak peduli jika dilihat sekilas pandang kepada Sandra. Tetapi jauh dalam lubuk hatinya, cowok itu sangat memerhatikan Sandra yang rapuh.

Ia bahkan diam-diam mencondongkan tubuhnya agak ke depan agar selama mereka dalam perjalanan, Sandra tidak perlu melakukan kontak sentuhan dengannya. Sekadar sentuhan tidak sengaja memang tidak akan membuat Sandra pingsan, paling-paling cewek itu akan merasa gugup dan sedikit lemas. Tetapi tentu saja, Edgar berjaga-jaga.

Sandra merasa tegang ketika mereka sudah memasuki kawasan perumahan tempat Sandra tinggal, karena beberapa orang yang rata-rata adalah wanita berumur tampak memerhatikan mereka. Kebanyakan menatap bingung, dengan pikiran mencoba menebak-nebak apa yang terjadi. Mereka benar-benar penasaran.

Sandra turun dengan kikuk, hampir saja ia jatuh ketika sudah menapak pada tanah. Dibukanya helm dengan agak tergesa-gesa, menyerahkan benda itu kepada Edgar. Tersenyum tipis kemudian.

"Thanks, Ed."

Edgar mengangguk, senyumnya terbentuk walau tidak lama, dan tidak dapat dilihat Sandra dengan jelas karena hanya sudut bibir saja yang tertarik sedikit.

Edgar pun pergi dari sana, meninggalkan Sandra yang masih diam dan mencengkram rok.

Sandra baru saja melangkah dua kali ketika seseorang memanggilnya, ia meringis dan berbalik dengan terpaksa.

"Nak Sandra, gimana sekolahnya?" Salah satu dari wanita-wanita berumur yang mempunyai anak seumur Sandra bertanya dengan ramah, wajahnya yang bundar mengingatkan Sandra pada cookies.

"Ba-baik," balas Sandra terbata.

"Syukur kalo begitu."

Sandra mengangguk, hendak masuk ke dalam rumah ketika wanita yang lain membuka mulut.

"Yang tadi siapa nak Sandra? Cowok ya?"

Inilah yang paling Sandra tidak sukai dari wanita-wanita di sekitar rumahnya, selalu ingin tahu dan berusaha mengorek keterangan secermat mungkin hingga mereka mendapatkannya. Tidak berpikir bahwa orang yang mereka tanyai merasa risi atau tidak, terganggu atau tidak. Yang penting, rasa penasaran mereka terpenuhi.

"Te-teman saya."

"Ah yang benar, kayaknya lebih ya?"

Alis Sandra bertautan, ia melirik rumahnya. Terlihat sangat aman dan nyaman, sangat mengundang dirinya untuk masuk ke sana.

"Sa-saya masuk ya."

Tanpa menunggu jawaban dari para wanita ingin tahu itu, Sandra berbalik dan masuk ke dalam rumah dengan cepat. Bernapas lega ketika sudah menutup pintu dengan setengah membanting.

***

Diam tak selamanya berarti tidak peduli.

Diam tak selamanya berarti menarik diri.

Tapi diamku berarti mengerti, bahwa dirimu butuh lebih dari sekadar kata-kata yang membesarkan hati.

Diamku berarti tahu, bahwa tanpa mengucapkan cinta pun kamu akan mengerti bagaimana berartinya dirimu bagiku.

Bagaimana deru napasku sia-sia tanpa kehadiranmu.

***

Edgar mengacak-acak rambut setelah mencium punggung tangan ibunya, hendak masuk ke dalam tetapi Ibu Edgar mencegah hal itu.

"Edgar, Mama mau tanya sesuatu sama kamu."

Edgar berbalik kembali, menaikkan alis tanda bertanya.

Ibu Edgar mendesah pelan, ia berharap bahwa Edgar sekiranya mengungkapkan tanya apa? Bukan hanya sebuah bahasa tubuh yang sudah ia kenali sejak anaknya itu kanak-kanak.

"Mama perhatikan kamu semakin banyak senyum akhir-akhir ini. Bukannya Mama nggak suka, tapi Mama cuma penasaran kenapa.

"Ada cewek yang kamu taksir ya?"

Edgar tidak menjawab, tetapi ekspresi wajahnya yang tiba-tiba terlihat malu seolah tertangkap basah sudah melakukan suatu kesalahan menjawab semuanya.

Ibu Edgar tersenyum, menepuk pundak Edgar beberapa kali. "Kapan-kapan ajak dia ke sini ya?"

Edgar sempat memalingkan muka, tetapi mengangguk mengiyakan.

***

Cold Couple (SUDAH TERBIT)Kde žijí příběhy. Začni objevovat