TIGA BELAS

239K 21.7K 278
                                    

Sandra memerhatikan Mina yang berjalan menjauh setelah menawarkan pergi ke kantin dan ia menolak, dia melangkah panjang dan cenderung cepat hingga sosoknya menghilang ketika sudah keluar dari pintu.

Mengingat kejadian kemarin, tentu saja Sandra menolak tawaran itu. Ia tidak mau lagi ada kejadian memalukan, membuatnya ketakutan hingga mencengkram rok hingga kuku jari pun memutih.

Ia juga malas jika bertemu lagi dengan Sanggi, lalu orang-orang yang bisa saja memandangnya aneh. Tadi pagi saja beberapa siswa tampak memperhatikan dengan pandangan tertarik, saling berbisik mengenai kejadian kemarin. Tak lupa mengutarakan keheranan mereka tentang Edgar dan Sandra.

Sandra membuka kotak bekalnya, melihat nasi putih, lalu telur dadar yang terdapat potongan sosis di dalamnya. Sebelum mengambil sendok, Sandra menyelipkan anak rambut di telinga karena terasa menutupi pandangan.

Keadaan kelas hening, karena di dalamnya hanya tersisa Sandra dan Edgar yang duduk di belakang sambil membaca buku. Tentunya kebanyakan dari mereka memilih untuk pergi ke kantin untuk mengisi perut masing-masing yang seolah meronta-ronta minta diisi, atau pergi ke lapangan basket untuk menonton bahkan bermain basket tanpa aturan alias main-main saja.

Kalau ditanya, sebenarnya Sandra merasa sedikit kikuk dengan keberadaan Edgar yang berada di duduk di kursi belakang. Kegugupan yang senantiasa ia rasakan membuat tiap geraknya menjadi kaku, kikuk.

Sandra memasukkan suapan pertamanya​ dengan pelan, mengunyah dengan lambat-lambat karena terus memikirkan dirinya sendiri. Tentang phobia-nya, yang jujur, menyulitkan.

Semakin banyak dipikirkan, perkataan ayahnya bahwa Sandra harus bisa berinteraksi dengan baik dan lebih sering lagi itu benar. Bagaimanapun juga, sehebat apapun seseorang tidak akan pernah bisa selalu mengerjakan sesuatu sendirian. Bantuan dari orang lain layaknya pertolongan Tuhan yang disampaikan lewat media lain.

Tetapi semuanya sulit bagi Sandra, ketakutan yang mudah muncul kepermukaan membuat segalanya terasa sukar dilakukan. Kalau saja ia bisa lebih berani dalam menghadapi segalanya. Yang paling dasar, menghadapi ketakutannya dan melawannya dengan secercah keberanian.

Sandra juga ingat ucapan mendiang ibunya. Seseorang yang paling kuat adalah seseorang​ yang bisa melawan ketakutannya sendiri.

Sandra melanjutkan makannya dalam suasana kelas yang masih sepi, teman sekelasnya yang lain belum kembali juga. Terlampau nyaman dengan suasana di luar, mungkin.

Mungkin karena makan sambil melamun, Sandra tersedak dan terbatuk-batuk. Edgar mengalihkan perhatiannya sejenak dari buku yang ia baca, menatap Sandra yang mulai reda batuknya dengan dahi mengernyit.

Ingin ia menepuk-nepuk punggung rapuh itu, tetapi fobia Sandra mengurungkan niatnya itu.

Sandra berbalik sebentar dan merogoh isi tas, mengerang pelan ketika menyadari bahwa ia lupa membawa botol air minum. Akhir-akhir ini Sandra lebih banyak berpikir dan melakukan kecerobohan, padahal ketika ia baik-baik saja sudah mengerjakan tidak sebaik dan secakap kebanyakan orang.

Edgar mengembuskan napas pelan, mengerti. Ia segera bangkit dari duduknya dan berjalan keluar dari kelas. Meninggalkan Sandra dengan kerutan terpatri di kening. Bingung mengapa Edgar harus pergi, apakah cowok itu tidak merasa nyaman karena ia batuk-batuk sebab tersedak?

Edgar berjalan dengan langkah-langkah panjang yang cepat, terbantu dengan kakinya yang panjang. Ekspresi di wajah seperti biasa selalu datar, tetapi justru di sana lah daya tariknya, Edgar dengan sikap yang selalu dingin dan pendiam justru menarik perhatian. Karena kebanyakan orang tidak mengerti mengapa ia bisa menjadi begitu diam layaknya patung dari batu.

Edgar masuk ke area kantin dengan langkah dipercepat, dalam beberapa saat saja ia sudah berada di depan penjual minuman, membeli sebotol air mineral dan segera berbalik pergi. Keluar dari kawasan kantin dengan kecepatan menakjubkan.

Di lain tempat, Sandra mendesah pelan. Ia bingung harus bertindak seperti apa, lupa membawa botol minuman, enggan pergi ke kantin padahal kerongkongannya terasa kering dan agak seret karena makan tanpa minum setelahnya. Jadi, apa yang harus ia lakukan?

Di tengah kebingungan itu, Sandra menoleh ke arah pintu ketika terdengar langkah seseorang memasuki kelas. Dahinya segera mengernyit ketika Edgar datang dengan sebotol air mineral. Ia kira Edgar pergi keluar karena tidak merasa nyaman dengan keadaan di mana mereka berdua saja di dalan kelas, ternyata Edgar haus dan pergi ke kantin.

Tetapi lagi-lagi dugaannya salah, Edgar meletakkan botol minuman itu di atas​ meja dan berlalu begitu saja ke kursinya sendiri. Duduk di sana dan kembali membaca buku.

Sandra tertegun, jadi Edgar memberikan minuman ini untuknya? Padahal ia tidak meminta sama sekali.

Sandra berbalik ke belakang, menaikkan alis tanda mengajukan pertanyaan. Berharap Edgar mau menjawabnya.

"Buat lo," ucap Edgar singkat, membuat Sandra menatap botol minuman itu lagi.

Sandra mengangkat kotak bekal, menyodorkan isinya ke Edgar. Hitung-hitung sebagai balas budi karena Edgar sudah repot-repot pergi ke kantin.

Edgar menatap apa yang disodorkan Sandra. Meskipun tidak lapar, Edgar tetap menyendok sedikit dan memasukannya ke dalam mulut.

"Thanks minumannya," kata Sandra yang lebih cocok disebut sebagai gumaman pelan. Edgar dapat mendengar dengan jelas karena keadaan kelas yang benar-benar sepi.

Edgar mengangguk, kembali pada aktivitasnya membaca buku. Sandra berbalik, meminum air dan melanjutkan kegiatan memakan bekal yang sempat tertunda.

Dalam hatinya Sandra begitu berterima kasih atas apa yang Edgar lakukan.

Sandra memikirkan lagi topik yang dipikirkannya, yaitu mengenai interaksi dengan orang lain. Sandra bertanya-tanya dalam hati, tepatkah?

Tepatkah Edgar sebagai seseorang yang bisa membantunya dalam hal itu? Karena Sandra pikir Edgar adalah sosok yang tenang, tidak seheboh Mina dan memberikan reaksi seminimal mungkin, sama seperti dirinya.

Jadi, tepatkah?

***

Cold Couple (SUDAH TERBIT)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant