Seokjin mengangguk cepat, lalu menciumi pipi putrinya yang tembem dan merah jambu, gemas bukan main.

Seokjin sudah menduga kalau Reeya tidak akan protes terlalu banyak jika dia dan Jiyeon hidup terpisah, selama tiga bulan terakhir dia memang sudah tidak satu rumah dengan Jiyeon. Reeya sudah terbiasa sejak kecil ditinggal Seokjin bekerja, berpikir kalau ayahnya sibuk, juga sang ibu yang memang tidak pernah melakukan kegiataan bersamanya.

Meski begitu, Seokjin tetap merasa sangat bersalah kepada putrinya, Reeya masih terlalu kecil untuk mengerti segala skandal yang terjadi pada rumah tangganya dengan Jiyeon. Dia memang terlalu sibuk bekerja, jarang punya waktu bersama kecuali akhir pekan, itu pun bila tidak sedang berada di luar negeri.

"Ayah, Reeya boleh 'kan temenan sama Sera eonni?"

"Boleh—"

"Yey!" sela Reeya. "Reeya mau main sepeda lagi, mau berkebun juga. Eonni bilang, nanti Reeya mau diajarin cara bikin bambu mint."

"Bambu mint?—" tanya Seokjin, tapi terjeda oleh panggilan masuk dari supir pribadinya.

"Tuan Kim, sepertinya saya tidak bisa mengambil mobil nona Sera di tempat les. Saya masih di Gwangju, rapatnya belum selesai, saya tidak mungkin meninggalkan Karina di sini."

Hari ini Seokjin meminta supir pribadinya mengantar Karina ke Gwangju, untuk mengantikan posisinya di rapat produksi. Dia melirik jam tangan, sekarang sudah pukul enam sore kurang dua menit.

"Oke, biar Jimin yang mengurusnya."

Sambungan itu selesai, Seokjin pamitan kepada putrinya dan menyakinkan sekali lagi kalau Reeya bisa bertemu dengannya diluar dari hari yang ditentukan pengadilan. Sidang putusan cerai masih tersisa dua hari lagi, tapi hubungannya dengan Jiyeon sudah sedingin gunung es.

"Tidak sedang menghasut Reeya agar menyukai pelacur itu, 'kan?" kata Jiyeon dari depan pintu. Tangan kanannya bertumpu pada kruk, kakinya belum bisa dipakai jalan secara normal paska kecelakaan.

"Kau takut Reeya lebih memilih Sera ketimbang ibu kandungnya?" Seringai tipis terulas di sudut bibir Seokjin, manik matanya yang runcing menukik tajam pada Jiyeon.

"Bukan 'kah, kau tidak pernah menginginkan kelahiran Reeya, Jiyeon?"

Raut wajah Jiyeon pucat dalam hitungan detik, pasalnya tidak ada yang tahu saat dia ingin mengugurkan kandungan setelah tahu bayi yang dia kandung berjenis kelamin perempuan. Dia menutup rapat niat busuknya itu dari siapa pun, kecuali Jung Hoseok.

"Kau tidak berpikir, kalau aku tidak tahu apa-apa, 'kan?" kata Seokjin. "Aku memaafkanmu karena aku sangat mencintaimu. Tapi jika kau menyakiti Reeya sekali lagi, maka aku sendiri yang akan membalasmu, sampai kau menyesal pernah mengenalku, Jung Jiyeon."

Jiyeon memaku saat Seokjin berlalu pergi, kata-kata calon mantan suaminya itu menancap di ulu hati. Seokjin tahu semua yang dia lakukan, tetapi masih memberinya sejuta rasa yang sama dan tidak berkurang sejak bertahun-tahun silam.

Kini, haruskah dia merasa berbesar hati karena telah mendapatkan seluruh cinta Seokjin? Tetapi faktanya, tanggal 15 Maret mereka akan bercerai, mengakhiri semua sandiwara perkawinan tujuh tahun keduanya. Ruang kosong mendadak muncul di sudut hati terdalam Jiyeon, menyadari bila dia tidak berhenti maka Seokjin akan terlepas darinya, selamanya.

Tertatih-tatih Jiyeon melangkah memasuki rumah, bersama kenangan yang tiba-tiba menghujani kepalanya. Kemudian, bayang-bayang kehidupannya bersama Seokjin pupus, sebelum menghilang tanpa sisa.

🍁🍁🍁

"Luar biasa, Kim Seokjin membuatmu semakin cantik, seolah-olah kau punya martabat yang baik."

Tuan Kim dan Sang PelacurWhere stories live. Discover now