Laki-laki berusia dua puluh enam tahun itu mengangguk pelan, mencoba meyakinkan sang adik bahwa dia bisa melakukannya. Tak lama kemudian, Kinar menghela napas dengan jengah lalu mengangguk pelan. Membuat Rizal menarik kedua sudut bibirnya keberlawanan arah. Tersenyum.

"Abang yakin, kamu bisa. Abang sama bunda bakalan bantu kamu, oke?" Rizal mengusap puncak kepala Kinar dengan sayang.

"Oh ya, ada yang nunggu kamu didepan. Ayo," Rizal beranjak dari jongkoknya dan mendorong kursi roda Kinar.

"Siapa bang?" Tanya Kinar tak sabaran.

"Kamu liat aja sendiri, ya, lagian dia ada di ruang tamu kok."

Rizal mendorong kursi roda Kinar meninggalkan kamar adiknya, dan membiarkan bingkai foto bergambar diri Kinar dan seorang cowok tergeletak begitu saja diatas ubin putih yang dingin itu.

***

Kinar mencoba untuk bersikap biasa saja, tapi sama sekali tidak memengaruhi pikirannya yang masih tertuju pada sosok Arga. Dia menyadari bahwa hal ini terlalu berlebihan, tapi dia memang tidak bisa menyangkal jika pikirannya masih tertuju pada Arga. Cowok yang membuatnya bagaimana merasakan cinta, yang membuat hari-hari Kinar bagai ribuan kembang yang bermekaran ditaman yang luas. Dan cowok yang mampu membuat diri Kinar berubah, akibat kesalahan dan kejadian yang menyakitinya. Arga telah meninggalkannya semenjak dimana raga Kinar dengan suka-rela diberikannya pada cowok itu. Menyesal? Munafik jika dia mengatakan tidak menyesal. Nyatanya, dia benar-benar terpuruk akan kesalahannya. Diam-diam dia merenung dan menyesali perbuatannya.

Bagi Kinar sebelumnya, itu adalah hal dimana dia merasakan kebahagiaan. Bersama dengan orang yang dia cintai, namun dia tidak pernah memikirkan konsekuensinya. Dia ketakutan setelahnya, dan apa yang dia takuti benar-benar terjadi.

Pelan, Rizal menepuk bahu Kinar pelan sehingga membuat gadis itu terperanjat. Ia terlalu melamun, sehingga tidak menyadari dimana dia sekarang? Ia mendongak untuk menatap kakaknya, ia terlihat seperti orang bodoh saat ini.

"Kok melamun? Nggak pengin nemuin dia?" Tanya Rizal, dengan menunjuk seorang cowok yang baru saja beranjak dari duduknya.

Pandangan Kinar mengedar, mengikuti arah telunjuk Rizal mengarah. Disana, berdiri cowok yang selalu melindunginya. Seperti halnya Rizal melindungi dirinya. Cowok yang setiap kali berada disampingnya ketika dia sedang bersedih.

"Hai," sapa cowok itu. Tangannya terangkat sebahu untuk melambai kearah Kinar, dengan senyum yang menawan.

Kinar masih diam, kesadarannya masih melebur diterpa udara. Dia masih menatap cowok itu dengan pandangan kosongnya. Hingga sebuah usapan lembut dikepalanya, membuatnya kembali sadar.

Tersenyum, lebih tepatnya memaksakan senyumannya. Kinar membalas sapaan cowok itu. Dia masih terlalu bingung, dia masih terlalu malas untuk sekedar kembali bersosialisasi dengan orang luar.

Melihat sang adik yang tidak mengatakan apapun, Rizal memilih untuk membungkukkan badan. Mensejajarkan wajahnya dengan wajah Kinar, lalu ia berbisik.

"Katanya mau belajar? Sampai kapan kamu bakal berhasil kalau diam aja kaya gini?" Pertanyaan Rizal membuat Kinar membeku, dia baru ingat jika dirinya mengatakan ingin melupakan semua yang terjadi padanya.

"Belajar, ya, ada dia. Pasti dia bisa bantu adik abang," suara Rizal kembali terdengar ditelinga Kinar.

Setelah membisikkan hal tersebut, Rizal menegakkan tubuhnya. Mendorong kursi roda yang diduduki Kinar mendekat kearah bunda---yang berdiri didepan sofa tamu.

"Kinar mau kan bang, kalau gue ajak keluar?" Tanya cowok itu, ia sudah terlihat begitu akrab dengan Rizal. Maka dari itu, setiap dia berbicara pada Rizal, cowok itu seperti berbicara kepada teman sebayanya---meskipun usia mereka terpaut sekitar empat tahun.

Rizal mengangguk dan kemudian menjawab, "Dia terlalu jenuh didalam kamar. Mungkin kalau lo ajak keluar sebentar itu nggak masalah buat dia."

Cowok itu tersenyum, lalu mengalihkan pandangan kearah Rere---bunda Rizal dan Kinar.

"Tante, Daniel mau minta izin buat ajak Kinar keluar, boleh?" Katanya.

Bunda tersenyum dan mengangguk untuk menjawab pertanyaan cowok yang bernama Daniel itu.

"Tapi jangan pulang terlalu sore, ya," kata Bunda memperingati.

Daniel lantas mengangguk, lalu melangkahkan kakinya mendekati Kinar.

"Sini, bang, biar gue aja yang dorong kursi roda Kinar." Rizal memberikan kepercayaan pada cowok itu, setelah menunggu Daniel membawa Kinar keluar rumah, Rizal segera menoleh kearah sang bunda.

"Bun, Rizal sebenernya berharap kalau Kinar lebih baik mencintai Daniel. Dari pada cowok itu," gumam Rizal.

Rere menoleh untuk menatap anak sulungnya, lalu menghela napasnya.

"Bunda nggak akan kecewa sama Arga, kalau anak itu tidak meninggalkan Kinar dengan keadaan yang seperti itu," jawab Rere.

Setelah itu, keheningan menyelimuti suasana. Memang benar, Rere tidak akan kecewa jika Arga tidak menghilang sampai sekarang. Cowok itu bahkan belum tahu keadaan Kinar yang terpuruk seperti ini.

Yang dia lakukan selama ini hanyalah mendo'akan Kinar agar putrinya itu mampu hidup seperti keadaan normal.

***
To be continued

Ini bukan flashback, ya. Jadi nggak perlu bingung..

SINCERITY [COMPLETE]Where stories live. Discover now