Chapter 1

257 44 20
                                    

Walau sebutut apapun rumahku. Walau sepintar apapun aku. Walau segila apapun saudariku. Walau setegas apapun ibuku. Keluargaku tetaplah keluarga biasa yang terkadang mengalami apa itu pertengkaran.

Dan memang itulah yang terjadi antara aku dan kakak perempuanku sekarang.

Ceritanya tidak panjang, juga tidak terlalu pendek. Seminggu setelah insiden Robin Hood, di suatu pagi yang dingin, aku bangun dan bersiap untuk pergi ke sekolah seperti biasa. Sesudah mandi dengan air es, aku pergi sarapan bersama keluargaku. Menunya adalah... uh, aku tak ingin membahasnya. Tidak menarik.

"Fakri," panggil ibuku dari ujung meja. "Kemarin malam Ibu bawa martabak keju, tapi kau sudah tidur duluan. Jadi Ibu menyisakan beberapa di dalam lemari."

"Heh?"

Tentu saja aku shock berat. Mungkin keluargaku adalah keluarga paling hemat dan paling efisien sejagat raya, tapi kalau masalah martabak, kami tak pernah tanggung. Harus dari toko Martabak Holand 98. Meskipun harganya setara dengan uang jajanku selama sebulan, karena rasanya yang luar biasa, kami jadi tak keberatan untuk menjadi pelanggan di sana.

Aku segera menyelesaikan makanku dan pergi untuk membuka lemari. Namun sungguh pemandangan yang mengejutkan. Martabakku tidak ada! Ke mana perginya? Tikus? Mana mungkin. Lemari ini memang terlihat butut, tapi ibuku telah memasanginya dengan sistem anti-tikus yang sulit ditembus.

Jadi kenapa?

Bagaimana martabakku bisa hilang?

Hanya ada satu jawaban.

Aku berbalik dan menemukan seorang wanita berumur 22 tahun yang tengah mengendap-ngendap untuk kabur.

"Kakak!"

"U-uwah!"

Tak salah lagi, dia adalah pelakunya.

Dari sana, kami pun mulai berkelahi. Aku mengepalkan tanganku di depan wajah layaknya petinju, sementara kakakku pasang kuda-kuda layaknya pesilat. Meski begitu, ketika kita kontak fisik, semuanya jadi kacau. Kami saling tonjok, saling hantam, saling tampar, saling tangkap, dan saling tendang tanpa aturan sama sekali.

Ibuku datang untuk meleraikan, tapi terlambat. Sang pemenang sudah keluar, dan itu tak lain dan tak bukan adalah kakakku.

***

Dengan wajah penuh lebam dan bekas cakaran, aku berangkat ke sekolah dengan hati dongkol.

Aaaaaaah~! Sungguh mengesalkan.

Hidup di rumah yang mirip hutan rimba itu mengesalkan. Siapa kuat dia yang berkuasa. Siapa cepat dia yang dapat. Hukum-hukum kaum barbar macam itu tak cocok dengan jenis orang sepertiku—pengguna otak. Selalu saja ditindas. Tiap punya makanan harus disembunyikan setertutup mungkin. Jika tidak, maka habislah.

"Arggh... hidupku benar-benar sial!" seruku.

Sadar-sadar, ternyata aku sudah berada di kompleks sekolah. Seorang gadis berambut kepang dua terlihat terkejut mendengar umpatanku. Dia mundur setengah langkah, lalu memandangku dengan ngeri dari balik kacamatanya. Tampak suatu bungkusan besar terpeluk erat di dadanya.

Ahn?

Kalau tak salah, namanya itu... Norin? "A-ah... oh, pagi." Tunggu. Kenapa aku malah menyapanya?

Tak membiarkanku menarik kembali perkataanku, Norin menganggukkan kepalanya. "Pa-pagi."

Apa itu yang dipeluknya?

Aroma ini... hmm? Makanan? Semur jengkol?! Kenapa dia membawa bekal macam itu ke sekolah?!

Sempat melintas ide untuk menanyakannya secara langsung, tapi Norin malah langsung pergi. Dia berlari, sempat tersandung, hampir jatuh, namun untungnya tidak jadi.

Secangkir NanahWhere stories live. Discover now