Bagian B

538 71 42
                                    

#4

Aku kembali saat bel istirahat berbunyi. Dengan terpincang, aku masuk ke dalam kelas dan mendapati ruangan yang terdiri dari sedikit orang. Kemanakah mereka? Mungkin karena lelah setelah olahraga, kebanyakan orang pergi ke kantin untuk mengisi perut.

Sebenarnya aku juga ingin melakukan itu.

Tapi setelah melihat isi dompetku yang cuma terdiri dari uang logam Rp. 500 dan uang kertas Rp. 1000, aku menitikkan air mata. Satu hal yang bisa aku lakukan hanyalah menguatkan ikatan sabuk pinggangku. Sungguh menyedihkan. Setidaknya, aku sudah puas minum air rasa air di UKS.

"Ah, Al, kau baik-baik saja?"

Lagi-lagi Haina. Sialan! Jangan menjebakku, wahai wanita! Tampak 2 temannya yang lain juga berkumpul di bangkunya. Mereka sedang makan bersama. Aku tak tahu siapa nama mereka, tapi itu sama sekali tidak penting.

Aku memutuskan untuk tak menjawabnya dan hanya mengangguk.

Di kursiku, aku mencoba untuk membaca novel yang aku pinjam dari perpustakaan. Semalam aku sudah menghabiskan setengah bagiannya, dan kuakui penulisnya melakukan pekerjaan dengan baik. Kendati demikian, karena naiknya asam lambung dan berkurangnya glukosa di dalam otak, aku tak bisa berkonsentrasi.

Sialan.

Andai saja aku punya pencernaan macam rayap, pasti sudah kumakan buku ini.

Tak lama setelah itu, aku dengan kurang kerjaan menguping percakapan 3 orang gadis di belakangku. Aku tak tahu nama 2 teman Haina itu, jadi mari kita panggil Ladies 1 (one) dan Ladies 2 (two) saja. Semenjak rasa lapar menguasai perutku, terkadang aku memang suka melantur sendiri, jadi mohon maklum.

Ladies 1: "Wah! Aku kebanyakan membeli kue!"

Haina: "Memangnya kenapa?"

Ladies 1: "Kenapa... tentu saja karena bisa gendut, kan?!"

Ladies 2: "Eeeh... kau terlalu banyak berpikir. Makan saja, lah. Habiskan."

Ladies 1: "Kau ini. Kalau begitu, bagaimana kalau kau saja yang makan."

Ladies 2: "Tak mau, ah. Kenyang."

Ladies 1: (Berujar dalam nada kecewa) "Kalau begitu, bagaimana dengan Haina?"

Haina: "Ehehe... maaf, tapi Haina juga sudah kenyang."

Ladies 1: (Terdiam untuk beberapa saat, sebelum akhirnya menghela panjang) "Sudahlah. Biar aku buang saja."

Aku terpana ketika Ladies 1 mengatakan kata-kata terkutuk itu dengan mudahnya. Buang. Biar aku buang saja. Buang. Apa-apaan dia itu?! Tidakkah kau mengerti berapa usaha yang dilakukan juru masak untuk membuat kue itu?! Tidakkah kau tahu bagaimana sulitnya orang tuamu yang mencari uang?! Dan yang terpenting, tidakkah kau sadar kalau di kelas ini masih ada orang yang kekurangan pasokan pakan?!

Kakakku sering memanggilku Manusia Daur Ulang. Bukan tanpa sebab, tapi aku memang punya sifat hemat yang semestinya diteladani para remaja zaman sekarang. Contohnya, aku mengeringkan ampas kopi tubruk untuk kemudian aku seduh lagi. Aku juga menanam tanaman urang aring untuk membuat sampo sendiri. Sebenarnya masih banyak prestasiku di bidang daur ulang, tapi aku tak punya waktu untuk menjelaskannya!

Untuk saat ini, aku harus menghentikan Ladies 1!

Dikarenakan aku yang terlalu banyak melamun, kini gadis itu sudah berjalan melewatiku dan tinggal 2 meter lagi dari pintu. Ah! Berhenti! Kumohon berhenti! Lihat aku! Oi! Lihat aku! Akan aku makan kue-mu itu, jadi jangan dibuang!

Meski begitu, selama aku mengatakannya hanya dalam hati, tak seorang pun yang dapat mendengarku.

Sial!

Secangkir NanahWhere stories live. Discover now