Kasus 7 - Anomali Hati

215 39 2
                                    

#0

Pagi itu adalah pagi yang tidak biasa buatku.

Matahari masih belum terbit di ufuk timur. Malam masih menyisakan kegelapannya di subuh hari. Aku membuka mataku dengan pelan, merasa pusing karena kesadaran yang datang mendadak. Tampak di depanku, pemandangan langit-langit yang kukenali.

"..."

Aku terdiam sejenak.

Entah kenapa, aku merasakan ada suatu lubang di dadaku.

Begitu tak enak.

Begitu tak nyaman.

Seperti ada bagian yang hilang.

Aku membuka selimutku dan duduk di tepi ranjang, terdiam sejenak dan memandangi deretan buku dalam rak di seberang ruangan. Dengan entah kenapa, aku merasa ingin menyingsingkan ujung pakaianku, dan tampaklah bagian perutku yang selalu tertutup.

Di sana, ada bagian kulitku yang berwarna ganjil dan membentuk sebuah garis.

Aku kembali menurunkan pakaianku. Beberapa kenangan segera masuk ke kepalaku dan memenuhi benakku. Aku menundukkan kepala, lalu menghela napas. Huh? Aku menghela napas? Ini cukup aneh. Aku tak pernah menghela napas sebelumnya.

Ketika sebuah ide melewati kepalaku, aku segera terkekeh.

"Haina jadi mirip Al saja."

Al. Atau nama lengkapnya Al-Fakri. Sebenarnya dia lebih suka dipanggil Fakri, tapi aku berkeras untuk memanggilnya Al. Kedengaran lucu soalnya (setidaknya, menurutku). Dia adalah teman sekelasku. Lebih dari itu, bangkunya ada tepat di depanku.

Setiap hari aku terus memandangi punggungnya yang lesu, dan terkadang tersenyum sendiri. Entah kenapa. Aku hanya ingin tersenyum saja. Sulit untuk tidak tersenyum ketika di dekatnya.

***

Pertemuan pertamaku dengan Al terjadi sekitar 5 tahun yang lalu. Tapi sebelum itu, aku terlebih dahulu bertemu dengan ayah Al, Paman Azkam. Beliau adalah seorang pria bertampang lembut, berhati baik, dan amat polos. Mungkin Al akan menyebut orang tipe seperti ini 'tolol', tapi aku yakin, kalau Al tetap amat menyayangi ayahnya.

Laki-laki ini adalah penyelamat hidupku.

Meskipun, kejadian aslinya agak ironis.

Sebenarnya ayah dan ibuku sama sekali tidak marah pada Paman Azkam. Dan meskipun dia tak menyelamatkanku, Paman Azkam melakukan kejahatan cuma karena dia terpaksa. Oleh karena itu, kami berusaha agar Paman Azkam bebas dari tuntutan.

Hanya saja... itu agak terlambat.

Saat aku siuman dan siap untuk menjelaskan kebenarannya, Paman Azkam sudah dilaporkan orang tuaku. Karena ini merupakan delik biasa, kami tak bisa menarik tuntutan. Paman Azkam pun dijatuhi hukuman atas kejahatan yang dia tak pernah lakukan.

Aku pun menemuinya dan meminta maaf. Meski begitu, Paman Azkam tidak terlihat menyesal sama sekali. Dia hanya sekadar tersenyum, lalu memberitahuku kalau dia sebenarnya punya seorang putra yang seumuran denganku. Dia ingin aku berteman dengannya.

Secangkir NanahOù les histoires vivent. Découvrez maintenant