6 - 3

200 43 3
                                    

#3

Suara ribut anak-anak yang bermain di taman mulai tersamarkan. Jalanan teduh berganti menjadi trotoar yang gersang. Sudah ada 30 meter aku berjalan menjauh dari Haina ketika dua orang berpenampilan mencurigakan tiba-tiba muncul entah dari mana dan mencegatku.

Aku melompat ke belakang, terkejut. Tapi, setelah dilihat-lihat lagi, rupa-rupanya aku kenal dengan dua orang mencurigakan itu.

"Apa yang sedang kalian lakukan di sini?"

Mereka adalah dua bersaudara, Zakir dan Hau-Hau.

"Heyah... aku dengar dari Hau-Hau kau mendapatkan tamu seorang gadis cantik," ujar Zakir dengan cara bicara yang membuatku ingin menjotos hidungnya. "Ternyata cuma Haina, ya? Sudah aku kira dia akan datang."

"Berisik! Kenapa kalian mengikutiku? Kurang kerjaan! Pulang! Pulang!"

Aku kembali melanjutkan perjalananku, tapi dua bersaudara itu menjulurkan tangan mereka, menahan masing-masing bahuku.

"Tunggu, Fakri," panggil Hau-Hau dengan nada yang ditekankan. "Apa yang mau kau lakukan?"

"Hah? Pulang. Aku mau pulang. Lepaskan..."

"Kau tak boleh meninggalkan dia begitu saja!"

"Berisik! Asli! Berisik!"

"Cepat kembali, sana. Masih ada kesempatan. Gadis itu hanya ingin diperhatikan olehmu. Di luar dugaan, sebenarnya hati wanita itu lebih sederhana dari yang kau kira."

"Hau-Hau... bicara lagi, kujotos kau."

"Jangan... berani... berani...!" tiba-tiba, Zakir kembali membuka mulutnya. Kali ini disertai dengan tangan yang menunjuk ke wajahku. "Awas saja. Dia itu adikku. Kau jotos dia, kubunuh kau."

"Ini kau, juga... Pecinta Adik Sialan."

Sempat terjadi percekcokan di sana. Aku memaksa untuk pulang, tapi dua bersaudara yang gila itu terus saja menahanku. Beberapa saat kemudian, aku berhasil mendapatkan kesempatan dan menyelinap kabur. Tapi layaknya polisi yang sedang mengejar maling, Hau-Hau menyusulku.

Pernahkah aku bilang kalau gadis itu ikut ekstrakurikuler karate?

Yah, pokoknya begitulah. Sebagai orang lemah yang selalu ditindas, aku hanya bisa pasrah dan dihajar habis-habisan oleh Hau-Hau. Mataku lebam sebelah. Kedua sendal jepitku putus. Terpaksa aku berjalan tanpa alas kaki layaknya Hobbit* dalam Lord of The Rings**.

*Makhluk fiktif yang menyerupai manusia, hanya saja memiliki tubuh yang pendek dan kaki lebar yang tak pernah memakai alas.

**Judul buku karangan J.R.R. Tolkien, yang dalam ceritanya menggunakan Hobbit sebagai tokoh utama.

Pada akhirnya, bersama dua bersaudara yang goblog itu, aku terpaksa kembali ke tempat Haina berada.

"..."

Ketika kami bertiga sampai di sana, tampak suatu pemandangan yang cukup mengherankan. Haina, dengan giat, rupanya masih meyakinkan anak itu bahwa dirinya bukan orang jahat. Sementara anak itu sendiri saat ini tengah bersembunyi, dengan ketakutan, di belakang suatu dahan pohon.

"A-ade... sini... Kakak bukan orang jahat, kok! Asli! Beneran, deh! Kakak cuma mau bantu Ade. Kamu sedang tersesat, kan? Ayo... sini..."

"Kau hanya akan membuatnya semakin ketakutan, kan?"

Haina berhenti bergerak untuk sesaat. "Bi-biarin!" serunya dengan kekeras-kepalaan layaknya batu granit. "Kenapa ke sini lagi? Bukannya katanya tadi mau pulang?"

Aku mendecakkan lidah. "Aku dicegat begal."

Bersamaan dengan sebuah tendangan yang dilancarkan Hau-Hau ke betisku, Haina berbalik dan menampakkan ekspresi wajahnya yang terkejut. "Begal? Tung... Al! Kenapa wajahmu bonyok begitu? Dan kenapa kau tidak memakai alas kaki?!"

Secangkir NanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang