Part_3

235 43 5
                                    

#3

"Hmm... setidaknya, kita tahu kalau urusan itu adalah urusan yang mendadak."

Mendengar perkataanku yang tiba-tiba ini, Hania segera mengedipkan matanya yang lebar beberapa kali. "Mungkinkah Al mengambil kesimpulan itu dari gelagat Pak Robin?"

"Yah, bukan hanya itu. Banyak yang menjadi bukti kalau ini adalah urusan mendadak." Aku menghela napas, lalu mencoba mengingat-ngingat kejadian ketika Pak Robin masuk ke kelas. "Pertama, dia menyampaikan berita ini secara langsung. Tidakah itu cukup aneh? Biasanya, daripada datang ke sini langsung, guru lebih suka memanggil ketua murid untuk mengambil tugas lewat jaringan pengeras suara." Aku menunjuk kotak sepiker yang menempel di pojok atas kelas.

"Hmm... Haina rasa memang begitu." Haina mengangguk, lalu mengusap pipinya yang tembam. "Tunggu. Tapi mungkin saja urusan Pak Robin itu bukan urusan mendadak. Mungkin saja itu sudah dijadwalkan dan kebetulan acaranya bersamaan dengan jam pelajaran kita. Jadi beliau bisa mengajar terlebih dahulu di kelas lain, datang ke kelas kita untuk memberi tugas, setelah itu baru beliau memenuhi urusannya."

Aku menggeleng. "Aku masih punya alasan kedua. Yakni ketika Pak Robin memberi tugas, dia terlebih dahulu membuka-buka buku paket, lalu beralih ke LKS, barulah setelah itu menyuruh kita untuk merangkum. Itu artinya dia membuat tugas ini secara mendadak, tepat ketika dia di kelas kita."

Meski begitu, aku tetap bingung kenapa dia harus memberi kami tugas dari buku LKS? Tidakkah buku paket juga sudah cukup? Aku ingin protes. Bila semua pelajaran terus seperti ini, maka berapa lama lagi aku harus sebangku dengan Haina?!

"Ah, benar juga." Kali ini Haina mengucapkannya sambil mengangguk, tanda benar-benar setuju. "Apakah urusannya sangat penting? Haina rasa Pak Robin terlihat amat terburu-buru."

"Mungkin saja. Mungkin saja... hmm. Tunggu." Aku terdiam sejenak, menghentak-hentakkan ujung kakiku ke lantai. "Aku kira... urusan mendadak itu memang penting. Sangat penting malah. Dilihat dari caranya memilih materi rangkuman dengan terburu-buru."

"Tapi...?" tanya Haina, menuntutku untuk melanjutkan penjelasanku.

"Tapi... tidak sampai menyangkut nyawa seseorang. Pak Robin menerima berita dadakan dalam perjalanannya dari kelas lain menuju ke sini. Jika berita itu adalah berita yang menyangkut nyawa—ibunya meninggal, contohnya. Contohnya, ya! Contoh! Misal! Jangan cubit pipiku! Eng... sampai di mana tadi? Ah, jika berita itu menyangkut nyawa, maka aku ragu Pak Robin akan datang ke kelas ini dulu."

"Hmm, Haina rasa juga begitu. Kalau Haina dapat berita seperti itu, pasti Haina langsung pergi, meskipun itu di tengah-tengah pelajaran."

Dari sini, kami sudah bisa menyimpulkannya dengan sedemikian hingga. Tidakkah aku memikirkannya terlalu jauh? Entahlah. Tak masalah kalau aku salah, yang penting, Haina terpuaskan. Itu saja!

"Jadi?" Haina memiringkan kepalanya, lalu menatapku dalam dengan mata bulatnya yang jernih. "Kita tahu kalau urusan Pak Robin itu mendadak dan amat penting, meski begitu, urusannya tak berhubungan dengan hal yang mengancam nyawa."

"Emm, begitulah."

"Lalu? Urusan apa itu?"

Mana aku tahu, Cerewet! "Urusan sekolah? Seperti kedatangan tamu dari dinas pendidikan atau semacamnya?"

"Al," panggil Haina. Tampak matanya agak menyipit dengan kening berkerut, menandakan suatu kecurigaan. "Apa Al ikut MOPD?"

"Orientasi? Tentu aku ikut. Yang tidak ikut didenda Rp. 50.000 per hari, kan? Jadi mana mungkin aku tidak ikut."

"Kalau begitu, apa Al hadir di acara pengenalan guru, staf, dan struktur organisasi sekolah?"

"Hadir. Memangnya kenapa tanya beginian?"

Secangkir NanahWhere stories live. Discover now