Bagian A

962 87 44
                                    

#1

Aku selalu menanamkan hal negatif pada pikiranku.

Menganggap kalau semua wanita membenciku.

Tak ada orang yang mau berdekatan denganku.

Ketika seorang gadis tersenyum, segeralah palingkan wajah ke belakang.

Jika masih belum cukup, maka ingatlah... semua kenangan yang membuatmu malu setengah mati.

Dengan menggunakan langkah-langkah tersebut, terbukti, aku berhenti jatuh cinta. Aku juga tak terobsesi pada apapun lagi. Ketika seseorang bertanya, siapa orang yang paling berharga untukku, maka akan aku jawab dengan penuh kebanggaan: 'Diriku sendiri!'.

Egois bukanlah hal yang benar, tapi bukan juga hal yang salah.

Aku percaya semua itu.

Sampai akhirnya, suatu hari, suatu kesialan menimpaku.

Sungguh, aku tak pernah menyangkanya. Aku ini orang pasif. Aku selalu golput ketika ada pemungutan suara. Aku tak pernah ikut dalam obrolan yang sensitif. Aku tak memiliki ikatan yang dapat menimbulkan pergesekkan. Aku tak ikut perkumpulan apapun. Aku juga tak pernah melanggar aturan sekolah. Meski begitu, setelah apa yang telah aku usahakan, tetap saja Tuhan menimpakanku sebuah masalah.

Sialan kau.

Sudah 10 hari semenjak aku naik hasta menjadi anak SMA. Dengan seragam dan tas yang serba baru, aku berangkat terlalu pagi karena jam di rumahku yang rusak. Ini baru pukul 06:20, masih ada lebih dari setengah jam lagi sebelum masuk. Tampak pemandangan kabut yang menyelimuti seluruh daerah sekolah layaknya adegan film horor.

Aku segera masuk ke kelas dan mendapati ruangan yang biasanya selalu ramai itu jadi amat sepi. Ini pertama kalinya aku melihatnya dalam kondisi begini. Segera duduk di kursiku, aku mengeluarkan buku pelajaran yang akan muncul di jam pertama.

Pagi hari adalah waktu yang terbaik untuk belajar.

Mungkin sekitar 10 menit kemudian, seorang gadis datang melewati pintu. "Huh... sudah ada orang, ya?"

Tanpa mengalihkan pandangan dari buku, aku mencuri pandang ke arahnya lewat ujung mataku. Dia adalah seorang siswi yang memiliki rambut panjang sepinggang berwarna hitam legam. Tubuhnya agak pendek, mungkin hanya setara dengan daguku. Meski begitu, aku kira itu normal untuk perempuan. Ketika pandangaku tiba pada wajahnya, tampak sebuah senyum lebar yang di arahkan padaku.

A-ah...

Ternyata dia, ya?

Aku kembali mengalihkan perhatianku pada buku.

"Selamat pagi, Al."

Hah? Dia ini lupa namaku atau memang sedang ingin memanggilku 'Al' saja?

"Emm," jawabaku seraya mengangguk sedikit.

Beberapa detik kemudian, aku pun mendengar suara langkah dari gadis itu. Karena bangkunya ada di belakangku, jadi dia tampak seolah-olah sedang menghampiriku. Tak ada yang perlu ditakutkan. Kami bukanlah teman se-SMP, kami juga jarang mengobrol. Jadi kemungkinan gadis ini datang ke arahku adalah... 1 banding 10.

Meski begitu, entah kenapa aku mencium aroma sampo yang begitu harum.

Ketika aku menoleh ke samping, tampak sebuah wajah yang mengintip dari dekat bahuku.

"...!" apa-apan dengan wanita ini?!

Dengan dinginnya, aku segera menutup buku-ku dan membuat gadis itu menoleh padaku. Dia memasang ekspresi heran. Mata lebarnya menatap ke arahku. Begitu fokus sampai-sampai aku tak bisa bergerak barang sesenti. Beberapa detik kemudian, dengan anehnya, dia kembali tersenyum.

Secangkir NanahDove le storie prendono vita. Scoprilo ora