#1

432 54 21
                                    

Di dunia ini, ada beberapa orang yang percaya akan adanya eksistensi yang tak kasatmata. Sebagai keterangan, aku di sini bukan untuk berbicara soal mikroba macam bakteri atau virus. Aku berbicara sesuatu yang agak absurd, irasional, muncul dari kepercayaan, belum terbukti keberadaannya, namun tetap ditakuti manusia.

Apa itu?

Ya, makhluk gaib.

Bukannya aku termasuk orang yang mempercayai mereka atau apa. Dan aku juga bukan orang yang dengan garang, membantah keberadaan mereka. Sebagai salah satu manusia langka yang menyukai matematika, ada suatu hal yang kami sebut bilangan imajiner.

Macam akar dua dari min empat.

Di dalam kenyataan, bilangan seperti itu tidak ada. Positif kali positif hasilnya positif. Negatif kali negatif juga hasilnya positif. Jadi mustahil ada akar genap dari bilangan negatif. Meskipun begitu, kami tetap bisa menghitung mereka menggunakan perlakukan khusus.

Hal ini berlaku juga buat makhluk halus.

Ya ampun, kenapa aku malah jadi berceramah ke sana-kemari?

Alasanku membicarakan hal ini adalah karena aku sedang mempertimbangkan untuk masuk sebuah ekskul mencurigakan yang disebut Ekstrakulikuler Peneliti Ilmu Gaib dan Makhluk Halus. Aku menemukan pamflet mereka yang terkubur hidup-hidup di bawah pamflet ekstra lain.

Mengingat pamflet ini hanya berukuran 5 kali 5 senti, aku rasa kondisi kebetulan di mana aku dapat menemukannya bisa disebut keajaiban takdir.

Ketika itu jam istirahat masih berlangsung, dan aku sedang mengisi waktu luang dengan membaca novel yang masih juga belum aku selesaikan sejak minggu lalu. Padahal waktu pengembaliannya adalah hari ini.

"Al, kau sedang apa?"

Seorang gadis tiba-tiba duduk di depanku. Dengan wajah putihnya yang condong ke arahku, dia mencoba untuk mengintip isi dari buku yang aku baca. Ah... emm... alasan kenapa aku masih juga belum menyelesaikannya, mungkin adalah ini.

Dengan terpaksa, aku kembali menutup buku itu dan menyandarkan tubuhku ke belakang. Tampak gadis yang ada di depanku memasang wajah kebingungan. Aku melakukan ini untuk memberitahunya kalau dia itu menggangguku, tapi sepertinya dia masih belum mengerti. Dengan sebuah senyuman lebar yang menghiasi bibirnya, gadis itu kembali berbicara.

"Kenapa ditutup?"

"Because you!" aku ingin berkata begitu, tapi pada kenyataannya, aku tak pernah punya keberanian untuk melakukan hal seperti itu. "Ingin saja."

Gadis yang di depanku ini bernama Haina. Nama lengkapnya Hania Apalah-apalah. Aku yakin kalau kemarin aku mendengarnya dari Zakir, tapi untuk suatu alasan, aku melupakannya. Yah, meskipun bukan berarti itu adalah hal yang penting juga, sih.

Untuk saat ini, dia adalah orang pertama yang berani berbicara denganku. Sejak kejadian kemarin, semua orang jadi terkesan canggung ketika berada di sekitarku. Entah itu karena mereka sadar kalau mereka sudah salah tuduh atau malah masih mencurigaiku, bagiku, yang mana pun... tak masalah.

Tak masalah.

Kecuali gadis di depanku.

Kenapa dia terus-terusan menempel padaku? Apakah dia semacam memiliki dendam pribadi yang walau bagaimanapun harus dituntaskan dulu? Aku tak mengerti. Aku tak paham. Yang jelas, ini berbahaya.

Filosofiku berkata.

Jangan pernah dekati wanita, terutama yang cantik, yang jelek sudah jelas.

Wanita adalah racun yang memabukkan. Mereka bagaikan minuman keras yang dapat membuat pikiranmu jadi irasional. Aku berkata begini bukan hanya karena membaca dari buku, tapi karena aku memang pernah mengalaminya sendiri. Dan itu bukan sekali.

Secangkir NanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang