BAB 10 -Memberi Jarak-

2.4K 262 20
                                    

Kamu tahu sesuatu yang paling menyakitkan namun bisa membuat seseorang bertahan setelah ditinggalkan? Itu adalah Kenangan.

***

Aku Terduduk di meja kafe seperti biasa. Melamun sendiri untuk menghabiskan sore membosankan karna bingung akan melakukan hal apa. Jika sudah melamun, biasanya aku akan membuka akun sosial media ku untuk menstalk akun seseorang yang aku kagumi sejak pertama melihatnya di ospek dulu.

Sosoknya yang tiba-tiba muncul sebagai pahlawan membuat ku tiba-tiba saja merasakan satu getaran--biarlah kata ini dianggap lebay--yang penting, aku mencintainya. Satu yang membuatku mencari tahu siapa namanya sampai aku berkeliling sekolah untuk mencari dia kembali dan sebisa mungkin menanyakan namanya dengan alasan ingin berterima kasih atas jasanya.

Namun, setelah seharian penuh aku mencarinya sampai telat masuk barisan, aku tidak melihatnya lagi. Dia hilang begitu saja seolah tadi dia datang hanya sebagai malaikat penolong lalu pergi kembali ke alamnya.

Tidak ku sangka, setelah masa penjajahan berakhir, aku dipertemukan kembali dengannya di depan mading. Telunjuknya yang menyusuri deretan namanya. Aku berdiri di sebelah kiri. Menatap sosok jangkung yang tengah menggunakan earphone dan sibuk dengan kegiatannya sendiri. Wajahnya yang tampan ku simpan baik-baik tepat di dalam memori. Ku pahat wajahnya tepat di hati, sehingga jika dia menghilang lagi, akan ku bayangkan wajahnya yang memang seperti malaikat penolong.

"Ah," pekikannya menyadarkan ku. Aku tersentak kaget lalu melirik ke arah telunjuknya. "Ini dia, X-4, jauh amat," lanjutnya membuat ku dengan segera melirik ke arah namanya. Nama yang akan ku gumamkan setiap kali aku bersujud pada sang maha pencipta. Nama yang akan menambah cita rasa pahatan wajahnya, 'Iqbaal D. Ramadhan' itulah yang ku ingat hingga sekarang untuk melamunkan sosoknya.

Aku terdiam. Sedikit tersenyum tipis dengan lamunan ku akan sosoknya. Bahkan tanpa sadar aku akan memekik karna mengingat kejadian bodoh yang hampir setiap hari ku lakukan untuk melihatnya atau ingin berbicara dengannya.

Modus dalam otak gila inilah yang sering ku pakai. Tak jarang pengunjung yang lain menganggap ku gila karna sering berbicara dan tertawa sendiri. Karna selain melamun, aku juga tengah memikirkan konsep modus agar bisa berbicara dengannya.

Aku jadi ingat satu trik modus yang gagal. Modus recehan yang gagal. Menyedihkan.

Saat itu, aku duduk tepat di depan sosoknya. Aku sering pura-pura melirik ke belakang dengan alasan pegal padahal ingin melihat dirinya. Satu kenyataan paling gila adalah senyumnya yang seketika seperti narkotika. Aku harus mendapatkannya setiap hari. Ya, setiap hari. Karna jika tidak, aku tidak bisa berjalan dengan tenang. Meski kenyataanya dia adalah pria yang jarang tersenyum meski sedikit pun.

Saat itu, aku benar-benar ingin mendengar ia menyapa ku. Namun, aku adalah aku sang bebek pemalu yang tak bisa menyapa pangeran berkudanya. Jadi ku manfaatkan ide konyol yang melintas di benak ku.

Dengan sengaja aku mendorong sedikit demi sedikit tas ku agar terjatuh. Tujuannya adalah ketika tas itu jatuh, maka setidaknya sosoknya akan menegurku dengan memberitahu tas ku jatuh. Ide brilian itu segera aku aplikasikan.

'Bruk!'

Jatuh. Tepat di bawah meja belajarnya. Sudah ku tunggu dia menegur ku. Sudah ku persiapkan kata-kata yang tepat untuk membalasnya.

Satu menit...

Dua menit...

Tiga menit...

"(Nama kamu)! Tas lo jatoh tuh. Gak butuh? Kalau nggak gue buang nih!"

Seorang menegur. Namun bukan dia melainkan teman di sebelahnya. Aku tahu, dia adalah Bastian. Si tengil kribo yang paling ngeselin diantara sederet cowok penghuni kelas.

Gagal Move On •IDR•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang