BAB 8 -Konyol-

3.4K 349 54
                                    

'Kamu itu seperti cuaca. Tidak pernah menentu akan seperti apa. Pagi mendung siang cerah. Sama seperti kamu, sebentar datang lalu pergi. Entah ingin menetap atau meninggalkan. Selalu seperti itu.'

***

Senyum manis itu tak henti-hentinya mengembang di wajah tampan Iqbaal kali ini. Ia berjalan melewati ruang tamu dengan raut wajah bahagia membuat semua penghuni rumah terheran akan sikapnya saat ini.

Ody, yang sedari tadi memerhatikan Iqbaal dari awal masuk rumah kini mendekati adik lelakinya itu. Ia menautkan alisnya saat Iqbaal tersenyum manis melewatinya begitu Ody telah sampai tepat di depan Iqbaal.

"Le, kamu tadi di jalan gak ketemu dedemit kan?" Ody bertanya pada Iqbaal yang tengah berjalan pada anak tangga pertama.

Iqbaal yang ditanya seperti itu segera menggeleng lalu kembali berjalan. Tidak begitu memedulikan Teh Ody, Bunda, Ayah, Bi Inem, serta kucing-kucingnya yang kebingungan dengan sikap anehnya itu.

"Bun, aku rasa Ale mesti dibawa ke psikiater deh Bun." Ody berdesis pada Rike yang kini berada di sampingnya. Turut memerhatikan anak lelakinya yang belakangan ini berubah 180 derajat dari biasanya.

"Jangan ngawur kamu." Rike sedikit tidak terima. Melirik ke arah anak perempuannya dengan raut wajah tak bersahabat.

'Oh tuhan... Ku cinta dia~
Ku sayang dia~
rindu dia~
Inginkan dia~ yeyeye... Owuoooooo'

Dari arah kamar, Iqbaal bernyanyi keras dengan suara pas pasannya. Mencurahkan perasaan bahagianya yang membuat anggota keluarga saling pandang.

"Kamu bener, besok kita harus bawa Ale ke psikiater" Rike menyetujui. Lalu Ody yang ada di sampingnya mangut-mangut.

"Besok Ayah panggil psikiaternya ke rumah!"

***

Di sisi lain ada (nama kamu) yang tengah bergulung di kasur dengan selimut yang ia tarik sampai kepala lalu kembali membukanya. Terus seperti itu sampai dirinya merasa lelah sendiri.

"Iqbaal berubah. Dia keliatannya tulus sama gue. Apa gue batalin pencomblangan Salsha aja kali yah? Lagian gue gak enak. Masa gue jadiin Aldi pelampiasan?" (nama kamu) berbicara sendiri. Membalikan tubuhnya ke samping kanan untuk menghadap ke arah nakas. Tangannya terulur mengambil ponsel yang tergeletak begitu saja.

Ia membuka galeri. Menslide foto-foto yang baru saja ia dapatkan tadi.

"Gue rasa moment ini mesti diabadikan." Iqbaal berujar saat pengamen itu hendak pergi.

"Maksudnya?" tanya (nama kamu) menatap Iqbaal dengan alis bertaut.

"Kita foto bareng sama pengamennya. Jadi kalau kita nikah--"

"Apa?" (nama kamu) membulatkan matanya menatap Iqbaal yang tampak santai dengan racauannya.

"Iya, kalau kita nikah, gak cuma foto preweding yang diabadiin. Tapi foto masa SMA juga dong. Sekalian pake tulisan 'nak, ini foto ayah sama bunda kamu waktu SMA. Bareng pengamen pas lagi jajan' gitu. Biar kekinian." Iqbaal menjelaskan dengan satu cengiran bodoh di wajah tampannya.

Pipi (nama kamu) serasa panas. Mungkin pipinya sudah memerah kali ini. Namun segera ia menepis segala pikiran apapun yang menyangkut perasaannya pada Iqbaal.

"Emang gue mau nikah sama lo?" tanya (nama kamu) sambil mendelik. Sengaja, biar nggak terlalu ketahuan lagi nerves.

"Pasti maulah. Siapa sih yang gak mau sama Aa ganteng yang gemesin ini"

Gagal Move On •IDR•Where stories live. Discover now