Money & Achievement

2.9K 153 6
                                    

Alkisah cerita ini terjadi waktu aku lagi di stase bedah mulut. Dulu awal aku masuk dan menjalani dunia koass, stase yang menurutku paling menakutkan adalah bedah mulut. Kenapa menakutkan? Ya tak lain dan tak bukan, apalagi jika berhubungan dengan nyawa manusia.

Di bedah mulut, hampir semua tindakan yang dilakukan sangat invasif. Bayangkan, mencabut gigi seseorang tidak semudah yang dibayangkan. Kita harus benar-benar waspada, apakah pasien tersebut memiliki riwayat penyakit sistemik seperti diabetes, hipertensi, atau juga apakah pasien tersebut memiliki alergi terhadap obat bius dll. Ya mari kita skip part ini karena kalo aku jelaskan bisa panjang ceritanya dan kapan-kapan bisa aku ceritakan di part lain.

Pada intinya pekerjaan di stase bedah mulut adalah mencabut gigi. Total requirement mencabut gigi sejumlah 20 gigi dengan rincian 10 gigi anterior (gigi depan) dan 10 gigi posterior (gigi belakang).

Nah kebanyakan... kendala mencabut terletak pada pencabutan gigi-gigi posterior. Dimana si gigi tersebut memiliki akar yang lebih dari 1 dan bercabang bukan gandeng dempetan. Paling horor adalah mencabut gigi geraham (molar pertama) rahang atas karena gigi tersebut memiliki 3 akar.

Well, bayangkan. Gigi tersebut ukurannya besar, akarnya 3, letaknya di pojokan dalam. Hahaha. Cuma bisa ketawa datar dalam hati kalo ada pasien yang mau cabut gigi geraham atas dengan posisi mahkota dan 3 akarnya dalam keadaan utuh.

Sebenernya kami sebagai koass sering banget bersyukur kalo ada pasien yang memang dengan ikhlas pengen dirawat di RSGM (Rumah Sakit Gigi dan Mulut) meskipun notabene yang merawat adalah anak-anak koass yang pengalamannya masih cetek, cupu, dan bau kencur. Jujur saja, aku paling mengapresiasi dan bener-bener merawat setulus hati kalo emang pasiennya bener-bener datang ke RSGM atas dasar kemauan mereka sendiri. Rasanya dapat kepercayaan dari orang lain yang bahkan belum kita kenal sebelumnya itu bener-benar berharga banget. Tapi bukan berarti itu artinya aku pilih-pilih sama pasien.

Jadi maksud dari cerita ini adalah suatu hari di klinik bedah mulut RSGM tempat aku menimba ilmu (cieee) datanglah seorang bapak-bapak yang ingin mencabutkan gigi geraham atasnya. Setelah mempersilahkan si bapak tersebut buat duduk di dental chair, aku seperti biasa memulai dengan anamnesa lalu mengukur tensi si bapak ini sambil ngajak ngobrol ringan. Si bapak ini cerita kalau beliau bekerja sebagai pendeta dan beliau ingin mencabutkan gigi gerahamnya karena lubang besar tapi tidak ingin dilakukan perawatan saluran akar. Si bapak pendeta ini tahu kalau dilakukan perawatan saluran akar terlebih dahulu perawatannya akan panjang, sedangkan beliau dalam posisi ingin segera dibuatkan gigi palsu karena beliau nggak pede ngasih ceramah mimbar dengan kondisi banyak gigi yang hilang dalam rongga mulutnya. Alhasil si bapak ini lebih memilih giginya untuk dicabut daripada dilakukan perawatan yang panjang.

Aku mulai menyiapkan alat-alat untuk melakukan pencabutan gigi. Mulai dari tang, hingga disposable syringe. Kemudian aku menganestesi di daerah sekitar gigi si bapak itu sebelum dilakukan pencabutan. Sebelum aku memulai mencabut gigi, seperti biasa aku selalu mengajak pasienku untuk berdoa terlebih dahulu. Ya, karena aku tahu tanpa bantuan dari Sang Pencipta aku belum tentu bisa mengeluarkan gigi tersebut dengan benar.

Aku: Pak sebelum saya mulai mencabut gigi bapak, mari kita berdoa dulu ya biar giginya cepet keluar.

Bapak pendeta: Ya ses (si bapak ini ngira saya suster. Dari awal manggil ses ses mulu tapi it's ok. Dipanggil apa aja gak masalah sih, asal bukan dipanggil tante aja haha)

Aku mulai memejamkan mata dan mencoba membaca al-fatihah dalam hati tetapi tiba-tiba suara si bapak ini bener-bener ngagetin aku. Dengan lantangnya si bapak ini berdoa, dan doa bapak itu di pagi hari benar-benar menggetarkan hati saya.

"Ya  Tuhan, berikanlah ses ini kemudahan dalam mengeluarkan gigi saya. Mudahkan ses ini. Berikanlah dia petunjuk-Mu, Tuhan Yesus. Amin"

Pagi itu, di klinik bedah mulut aku sebagai yang merawat, dan si bapak sebagai pasien sama-sama menghadap Tuhan kami masing-masing untuk meminta kelancaran atas apa yang kami kerjakan hari itu.

Dengan penuh perjuangan akhirnya si gigi mau keluar dalam waktu hampir sejam. Cukup lama mengingat yang mencabut gigi adalah aku, seorang calon dokter gigi dengan pengalaman ala kadarnya. Tapi aku cukup puas mengingat aku sudah berusaha dan bersusah payah mencoba mengeluarkan gigi tersebut.

Setelah menginstruksikan apa saja yang harus dilakukan si bapak setelah post ekstraksi, aku menuliskan resep obat dan kemudian memberitahukan bapak tersebut berapa total harga yang harus dibayar.

Sekedar informasi, di RSGM tempat aku mencari pengalaman baru (cieee) harga sekali pencabutan satu gigi hanya  20 ribu rupiah. Ya hitungannya termasuk amat sangat murah karena di biaya tersebut hanya untuk biaya operasional RSGM dan tidak termasuk biaya tenaga kita. Tenaga kita cuma dibayar nilai oleh para dosen hehe.

Aku: Pak ini resepnya bisa ditebus di apotek mana pun. Terus untuk biayanya 20 ribu. Bisa bayar di saya nanti saya yang bayarkan di bagian pembayaran. Bapak tunggu disini dulu, nanti setelah saya bayar, kuitansinya bisa saya kasih ke bapak.

Bapak pendeta: Oh iyaya ini ses uangnya (sambil nyodorin uang 50ribu)

Aku: Nggak ada uang pas Pak? Soalnya kalo masih pagi gini dikasir depan belum ada kembalian.

Bapak pendeta: Ya kembaliannya ambil aja ses.

Aku: Lho pak jangan gitu. Bentar saya tukerin uang ke temen saya dulu ya.

Bapak: Nggak usah ses. Itu kembaliannya buat ses aja. Saya berterimakasih banyak ses sudah mau susah-susah mengeluarkan gigi saya. Saya tahu ini semua memang berkat bantuan dari Tuhan Yesus tapi lewat tangan ses ini akhirnya gigi saya bisa keluar.

Well, pagi itu aku menerima uang 50ribu dengan mata berkaca-kaca. Kelihatannya lebay, tapi aku merasa seperti menerima gaji pertama haha. Itu adalah 30ribu-ku yang berharga. Aku jadi ingat tiap kali aku kesusahan mencari dan merayu pasien, yang kutawarkan adalah perawatan gratis. Dimana uangnya itu bersumber dari uang pribadi. Nah sedangkan bapak pendeta ini dengan baik hatinya beliau menghargai usahaku ketika mengeluarkan giginya. Beliau ini seolah-olah mengerti betapa aku merasa kesusahan saat mengeluarkan giginya.

Memang kalau dilihat dari nominalnya 30ribu bukanlah apa-apa. Tapi kalo ingat uang itu didapat dari usaha kita rasanya beda banget.

.

.

.

Pada dasarnya kita sebagai dokter ataupun dokter gigi tidak boleh memilih-milih pasien. Entah mereka kaya atau miskin, entah mereka dari suku jawa, madura atau batak, dan entah mereka beragama islam, kristen, atau budha, semuanya harus dipandang menjadi sama sebagai sosok manusia yang memerlukan bantuan kita untuk mengobati mereka.

Dan tulisan ini aku post hari ini seiring dengan libur nasional karena pilkada. Meskipun aku nggak ikut pilkada, tapi aku berterimakasih banyak kepada bapak Jokowi karena sudah memberikan satu hari libur yang sangat berharga buat koass macem diriku begini *meratapi kalender, mencari-cari dimana keberadaan tanggal merahku sayang*

CATATAN GILA CALON DOKTER GIGIМесто, где живут истории. Откройте их для себя