BAB 1. -Awal-

Mulai dari awal
                                    

"Salsha ada benernya juga (Nama kamu)! Lo liat tadi? Dia ngeliatin lo kayak masih ada something gitu sama lo," tambah Bella, teman Salsha yang itu artinya juga teman (Nama kamu).

(Nama kamu) menelan ludahnya. Bella benar, meski ia tadi pura-pura tidak mengacuhkannya. Tapi ia melihatnya. Melihat cowok itu menatapnya seperti tadi.

Bahkan disaat ia mencoba berpura-pura tertawa bersama Salsha dan Bella, ekor matanya tetap bisa melihat pesona cowok itu. Ia tetap bisa melihat poni rapi serta earphone yang selalu menyumpal kedua telinganya. Masih sama, dan mungkin akan tetap sama.

"Apa jangan-jangan lo juga-"

Bel menghentikan ucapan Salsha yang masih saja membahas perkara yang sama. Ia masih saja memojokan (Nama kamu) dengan pertanyaan-pertanyaan menyebalkannya.

(Nama kamu) menarik nafas lega. "Udah bel ternyata, kelas yuk!" ajaknya segera berdiri dan meninggalkan kedua temannya. Sungguh diluar kendalinya, ia tidak bisa harus seperti ini. Semuanya sudah berlalu, dan semuanya telah menjadi masa lalu.

***

Bagaimana bisa saat kamu tidak menginginkan bertemu dengan seseorang namun orang itu ada pada atap yang sama, lantai yang sama, bahkan menghirup udara yang sama?

Seperti (Nama kamu), cewek itu sama sekali enggan menginjakan kakinya pada lantai kelas. Sungguh, saat kenaikan kelas kemarin, ia berharap tidak disatu kelaskan dengan cowok itu. Namun sepertinya tidak semua keinginan bisa terealisasikan.

Ia berada di kelas yang sama dengan Iqbaal, kelas XII-IPA-2, salah satu kelas favorit di SMA Bakti Bangsa,
dimana murid di dalamnya memiliki otak cemerlang dan wawasan yang luas.

Itu sebabnya (Nama kamu) merasa heran, ia bukan salah satu dari anak yang pintar. Ia tidak memiliki prestasi sedikit pun. Jujur, ia hanya pernah meraih penghargaan saat memenangkan lomba makan bakso terbanyak se-RT. Sudah, hanya itu.

(Nama kamu) menghela nafas, menapaki ambang pintu dengan gerakan pelan yang disengaja. Dan dengan segera ia menempelkan bokongnya pada kursi tempat duduknya.

Disana, di ujung bangku sebelah sana, Iqbaal melihat (Nama kamu) dengan wajah datar dan pandangan dingin. Tangannya tanpa sadar mengepal saat melihat gadis itu sama sekali tidak melirik ke arahnya. Bahkan menganggapnya tak ada.

"Gue mesti minta maaf," cetus Iqbaal tiba-tiba membuat Bastian yang berada di sampingnya menoleh dengan tatapan bodohnya.

"Maaf? Ke tukang cilok kemaren yang lu mintain bonus banyak? Atau ke tukang mie ayam yang selalu lo utangin?" tanya Bastian begitu lengkap bersama aib-aib Iqbaal dibalik sifatnya yang cool dan elegan.

"Ck. Sama dia!" tunjuk Iqbaal pada salah satu dari sederet orang yang berada di kelasnya.

Perkiraan Bastian salah. Bukan tukang cilok ataupun tukang mie ayam, melainkan seorang gadis cantik dengan mata yang nyaris seperti barbie. Gadis itu, (Nama kamu).

"Gue rasa itu gak mungkin, Baal. Cuma ada kemungkinan 0,05% dia mau maafin lo," seloroh Bastian segera menyadarkan Iqbaal dari kekeliruannya.

Iqbaal diam, pandagannya tertuju pada seorang gadis yang kini menggerak-gerakan pulpen meski tidak ada guru yang tengah mengajar atau menyuruhnya menulis.

"Gue berharap sama 0,05% itu," jawab Iqbaal melirik Bastian datar.

Bastian menghela nafas jengah, "berharap dari peluang 0,05%? Cuma orang idiot yang bakal lakuin itu. Dan gue rasa, lo akan jadi salah satu diantara mereka kalau lo lakuin itu." Bastian berkata dengan pandangan tak henti menyorot ke arah Iqbaal yang hanya mengangkat bahunya. Tumben sekali Bastian berkata bijak semacam itu.

"Semuanya butuh perjuangan, bukan cuma omong kosong doang." Iqbaal berkata dingin lalu beranjak dari tempatnya.

Namun, baru saja ia ingin melangkah keluar, seorang guru muda masuk dengan terburu-buru. Iqbaal menghela nafas lalu duduk kembali di bangkunya dan menatap Bastian yang menyeringai lebar melihat hal itu.

"Maaf anak-anak, Ibu telat." guru itu berkata dengan tenang sambil duduk di bangkunya.

Padahal, guru itu seharusnya meminta maaf bukan karna keterlambatannya, namun justru karna hadirnya di kelas yang seolah memberikan harapan palsu.

"Disini Ibu mau ada perubahan soal teman satu bangku. Karna kalian udah kelas dua belas, yang itu artinya bukan untuk main-main lagi, jadi teman duduk kalian akan dirubah dan Ibu yang mengaturnya." ucap Bu Andin, guru matematika yang sekaligus wali kelas XII-IPA-2, panjang lebar.

"Ibu mau, keputusan Ibu nanti, gak ada yang protes. Paham?" Bu Andin berkata dengan tegas.

Semua murid XII-IPA-2 hanya mengangguk patuh. Mengingat guru di hadapan mereka ini killer abis. Dan kelas mereka juga tipikal murid baik-baik yang tidak ingin membuat onar hanya karna membantah guru.

Semua mulai diatur. Ada sebagian yang mengeluh karna di sebangkukan dengan yang jelek, cupu, atau kurang pinter. Namun, ada juga yang bersorak karna ada yang kebetulan disebangkukan dengan kecengannya.

"Iqbaal..."

Merasa terpanggil, cowok itu segera menatap Bu Andin dengan ekspresi seperti biasa. Apalagi kalau bukan datar.

"Kamu sebangku sama..."

Iqbaal menunggu. Suasana kelas serasa sepi disaat kebisingan memenuhi ruang kelas.

"Sama Salsha."

***

A.N: Hoalah... Halooo semuahhh :) *pasang muka cool* ini sebenernya pernah dipublish tepat tanggal 14 November 2016. Tapi karna sesuatu hal gue unpublish dan sekarang gue publish lagi (gue berasa jadi ABG labil).

Sebenernya ini gue ubah dikit2 biar nyambung sama part-part berikutnya. Meski gue gak tahu ini beda apanya sama yang dulu :v. Oke, sekian cuap2nya jan lupa vomment yah ders :)

Salam...

Gagal Move On •IDR•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang