Pertemuan

188K 11.7K 472
                                    

Han Se Wool menjejalkan tangannya ke dalam saku mantel. Ia berjalan pelan melewati jalanan pertokoan. Sesekali gadis itu bersenandung pelan. Udara malam benar-benar bukan teman yang baik.

Tiba-tiba ponsel di saku mantel berdering. Dengan gerakan sigap Sewool mengangkat tanpa melihat si penelepon.

"Kenapa?" Katanya setengah jengkel setelah tahu yang menelepon.

Seseorang di seberang mulai mengatakan maksudnya.

"Apa? Besok? Kan sudah kubilang aku berhenti. Aku sudah selesai.... Dia mengancamku? Keterlaluan deh.... Aku lelah." Kemudian menuntup teleponnya sepihak.

Yang tadi menelepon adalah Im Na-Yeon (teman kerjanya di kantor) baru saja memberi tahu kalau direktur perusahaan tempatnya bekerja marah besar saat tahu Sewool mengundurkan diri. Entah apa yang dilakukannya selama satu tahu belakangan ini, tapi yang pasti semua tidak pernah beres.

Apa yang ia lakukan selalu salah. Di kantor selalu dipermainkan. Berangkat pagi pulang larut. Diperintahkan sesuka hati. Apa kantor itu tidak memiliki jaminan Hak asasi manusia untuk para pegawai.

Mengingat betapa menyedihkannya ia sebagai anak-bawang membuat otaknya kacau. Kepalanya seperti tertimpa batu. akhir-akhir ini juga Sewool jadi lebih kurus.

Sewool menghembuskan napas berat. Ia berjalan mencapai pintu gerbang rumahnya. Membuka perlahan. Ini jam sebelas malam. Mungkin saja semua orang di rumah sudah tidur. Ia tidak ingin membangunkan siapa pun. Tetapi seketika langkahnya terhenti begitu melihat sang ayah berdiri di depan pintu dengan wajah cemas.

"Ayah?" Sewool buru-buru menutup gerbang, "Kenapa ayah di luar?"

Sewool mengamati ayahnya yang berdiri mematung.

"Kakakmu." Suara ayahnya terdengar getir.

"Ada apa? Apa dia belum pulang?" tanya Sewool ikut merasa panik.

Ayahnya memijat tulang hidung dan kembali bicara, "Dia membawa kabur semua tabunganku, menjual mobil dan menggadaikan rumah."

***

Untuk beberapa detik kedepan Sewool tidak dapat bernapas, bahkan ketika ia merasa bisa menghirup udara rasanya sangan sulit. Seolah-olah duara di sekitarnya memekat.

Dadanya sudah terasa penuh dan sesak setelah mengetahui semua cerita tentang Han Se Kyung, anak sulung dalam keluarga mereka tahu-tahu kabur.

Han Jae Seok baru saja bangkrut. Ia pikir dengan menggunakan tabungan selama bekerja bertahun-tahun menjadi seorang guru akan cukup menghidupi keluarga mereka sampai hari tua.

Namun semua hancur. Han Se Kyung, membawa semua tabungan miliknya dan istrinya. Dia mencuri harta keluarganya.

"Anak kurang ajar!" Tiba-tiba Jae Seok berteriak di tengah malam.

Sewool sama sekali tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Semuanya sudah salah sejak ia ada. Itu yang ia rasakan. Tapi ayah seolah tidak mengatakan apapun tentang segalanya. Ibunya yang sakit pasti menjadi beban tersendiri juga untuk ayah.

***

Sewool bangun lebih pagi dari sebelumnya. Gadis itu mengerang saat melihat jam di nakas. Hampir jam tiga pagi ia baru tidur karena harus menyusun naskah. Ia menguap sekali lagi sebelum bangkit dari kasur.

Ponselnya berdering tiga kali. Nayeon.

"Yeoboseyo, Nayeon-ah maaf yang semalam.... Aku baik-baik saja.... Ya, aku kembali ke teater.... Tidak, aku pasti akan merindukanmu. Terima kasih ya.... Aku tahu, aku akan menghubungimu.... Hm, oke."

Hari ini Sewool akan kembali ke teater tempatnya dulu bekerja sebelum di kantor. Semalam ia menghubungi Wonwoo dan menanyakan apa masih ada posisi untuknya, dan Wonwoo dengan suara bahagia mengatakan akan selalu ada tempat untuknya. Sewool pikir itu berlebihan.

Sejak sekolah dasar Sewool suka sekali berada di dalam teater, rasanya begitu menyenangkan. Daripada memainkan peran akan jauh lebih nyaman berada di belakang panggung dan melihat naskah-naskahnya diperankan. Rasanya terlalu menyenangkan untuk dibayangkan.

Setelah semua beres Sewool mengambil tas kecilnya. Gadis itu terlampau antusias.

Gadis itu membawa tumpukan naskah yang tidak muat sama sekali ke dalam tas. Kemudian berjalan ke kamar ibunya.

Sewool meletakan tumpukan naskahnya di sisi ranjang yang kosong.

"Ibu," dengan lembut ia memegangi tangan ibunya, "kepala ibu masih pusing?"

Ibunya menatap Sewool sendu namun ada senyum tulus terukir di bibir. "Sedikit."

"Sudah kubuatkan sarapan. Ayah akan membantu ibu hari ini. Aku sudah janji pada ayah akan membantunya."

"Terima kasih." Tangan ibunya terulur mengusap rambut Sewool, "Aku percaya kau bisa diandalkan."

Sewool tersenyum lebih lebar, "Semuanya akan beres ditanganku. Ibu jangan khawatir."

Ibu menangguk lemah dan tersenyum

***

Sewool berlari kecil setelah turun dari bus. Gadis itu melangkah lebar melewati deretan toko. Ia melirik jam tangan dan bergumam 'empat menit lagi'. Setelah itu ia mempercepat langkahnya.

Dengan terburu-buru Sewool berlari kecil tanpa melihat jalanan sampai tiba-tiba seseorang muncul dari arah berlawanan. Sewool tidak dapat menjaga keseimbangan tubuhnya, Tepat pada saat itu terdengar bunyi bedebum keras serta pekikan.

Bokongnya membentur aspal dan Naskahnya berhamburan di udara kemudian tercecer kemana-mana. Sebelumnya, ia mendengar suara yang cukup keras seperti benda jatuh. Tetapi, ia terus berusaha memunguti kertasnya satu persatu. Ia akan menyusunnya nanti, tidak ada waktu. Ia harus segera ke gedung pertunjukan atau semuanya batal dan Wonwoo akan kecewa.

Saat berdiri dan akan berlari lagi ke dalam gedung. Seseorang memekik cukup keras. Sewool berbalik dengan cepat. Ia terkejut, saking terkejutnya Sewool meletakan naskahnya begitu saja di anak tangga gedung.

"Astaga, kau baik-baik saja?"

[]

You Are the Pastry of My EyeWhere stories live. Discover now