[20] Kejutan Lainnya

Începe de la început
                                    

Mata Livia sontak terbelalak mendengar rencanaku yang ajaib itu. Aku juga heran sih, kenapa tiba-tiba aku pengen beli buku gituan.

"Temen gueee" katanya dengan gaya takjub berebihan, lalu melenggang ke tempat motornya diparkir. Aku baru akan menyusul Livia ketika menangkap gerombolan manusia di tengah taman dengan wajah-wajah tersenyum aneh. Penasaran, aku menghampiri gerombolan itu dan terbelalak mendapati siapa yang menjadi pusat perhatian.

Pikiranku mendadak kosong. Bahkan aku mengabaikan Livia yang memanggil-manggil, saking terpakunya.

"Lo dulu"

"Lo sama kak Embun, beneran pacaran?"

"Nggak. Tapi gue yakin nggak lama lagi kita beneran pacaran."

"Maksudnya-"

"Bagian gue"

Serangan ingatan itu jelas menyadarkanku apa yang sebenarnya terjadi disini. Dia, ternyata dia benar-benar menjalankan apa yang dia ucakan.

Dia-cinta-kak Embun. Mataku perih melihat buktinya di depan mata.

"Apaan sih-OH, OH MY GOD, Ody itu kak... dan.."

Gontai, aku berbalik dan meninggalkan apa yang terjadi di taman itu dengan air mata merebak. Livia masih terlalu kaget sehingga anak itu hanya mengikuti dengan mulut terbuka tertutup persis ikan. Semuanya selesai.

Sebelum aku benar-benar pergi, telingaku menangkap tiga kata yang sempurna mengiris hatiku sampai terbelah sekian potong. Tiga kata yang dulu, dulu sekali diucapkan Bian di depan murid-murid seantero SMP Kalista.

Tiga kata yang membunuhku dengan sekali sentakan.

"Be mine, please?"

***

Bodoh.

Bodoh bodoh bodoh!!!

Aku, terus merutuk. Menyesali betapa bodohnya aku karena dengan teledornya meninggalkan dompet di mobil Bian. Beruntung aku tadi nggak jadi ketoko buku. Yah, 'adegan' itu cukup untuk membuatku memilih bergelut di kasur dan merutuki cintaku yang tragis.

Aku menangis dan itu sangat amat terdengar memalukan.

Dan ketika aku mencari tisu di tas dan sadar sesuatu telah hilang, punggungku lantas menegak. Berubah panik.

Otakku yang lelah berusaha memutar kembali semua yang terjadi tadi pagi, dan seketika aku ingat. Terakhir kali aku melihat dompet itu adalah saat di mobil Bian.

Aku yakin dompet dora itu jatuh di mobi Bian. Yakin, yakin nggak yakin sih.

"Jadi lo nggak bawa mobil sekarang?"

Cemas, aku menghentak-hentakkan kaki. Aduh, gimana ini?

"Enggak Dy, tadi gue pulang terus pergi lagi bareng anak basket. Tapi kuncinya gue tinggal kok. Lo ambil ke rumah aja bisa nggak?"

Kata-kata Bian membuatku mematung seketika. Kerumahnya? Aku belum pernah ke rumahnya bahkan saat kami masih pacaan dulu. Belum pernah sekalipun. Dan setahuku rumahnya yang sekarang itu, baru 'kan? Dan rumah itu, sama dengan rumah...

"Tadddaaaaaa, This is it, brownies special tak ada duanya pengobat galau ala Chef Viola Queen and, Livia" "Nama gue pake chef juga dong" "Oke, Chef Livia Queen,eh?"

Keterkejutanku buyar ketika Viola dan Livia masuk-mendobrak-pintu kamar dengan membawa sepiring potongan brownies hasil karya mereka. Livia Viola emang selalu kompak dari dulu.

Nama mereka aja mirip gitu macem anak kembar.

"Dy, Kalo lo nggak mau-"

"Gue ke rumah lo aja."

Aku dan HujanUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum