[13] Sisa-Sisa Persahabatan

3.8K 240 3
                                    

"Here I am, once again
I'm torn into pieces
Can't deny it, can't pretend
Just thought were the one"- Behind These Hazel Eyes, Kelly Clarkson

***

MALAMNYA, Livia datang ke rumahku dan menjerit-jerit histeris. Pertama, karena proyek mading hampir goal dan berjalan sesuai rencana. Kedua, karena tragedi bangke sialan itu. Aku, akhirnya, dengan malas menceritakan semuanya dari awal sampai akhir. Dari awal bangkai itu tercium sampai si imut (aku mau muntah) itu keluar dan dikubur oleh teman-teman laki-laki super gantle di kelasku.

Semoga aku tidak berlebihan.

"Dy?"

Aku mengangkat kepala dari layar Hp dan menatap Livia yang tampak menerawang. Aneh emang, dari jerit-jerit heboh tiba-tiba diem kayak orang banyak pikiran.

"Lo mikir nggak kalo ini semua kerjaannya Selda?" ucapnya. Seketika membuatku mematung.

Aku tidak mengira Livia akan mengucap nama itu juga. Nama sahabatnya dulu. Ya, Selda sahabat kami, sungguh, sahabat terbaik yang pernah kami miliki seumur hidup. Ya, sebelum sesuatu membutakan matanya.

Sebelum Ia memaki kami dan menganggap kami penghianat.

"Gu... gue"

"Gue tau kok Dy, gue liat waktu dia ngelabrak lo di parkiran. Dan gue yakin usahanya buat ngancurin lo nggak sampai situ aja."

Kerongkonganku tiba-tiba terasa kering. Aku jelas masih mengingat hari itu, pertama kalinya aku melihat Selda lagi setelah hampir tiga tahun. Saat dia mencekal kerah bajuku, saat aku-dengan nekat dan sok beraninya-mengatakan sahabatku selain Livia sudah mati.

Kepalaku mendadak pusing.

"Terus kenapa lo nggak nolongin gue waktu itu?" tanyaku tanpa menoleh lagi pada Livia. Kami sedang duduk di sofa balkon kamarku-dan Dilla-, dan disini, aku bisa bebas menatap lapangan basket dan taman kompleks di depan. Satu hal yang membuat aku suka bersemedi di balkon.

"Karena gue nggak mau bikin keributan. Lagipula waktu itu ada Regen kan? selama lo sama Regen, gue jamin lo aman" Livia terkekeh renyah. Mungkin dia ingat 'fobia'ku pada manusia bernama Regen. Lucu, memang, tapi entah kenapa belakangan ini aku sudah terbiasa dengan sifat ketusnya yang pangkat lima puluh itu. Sejak kejadian Jum'at itu.. entahlah, dan kenapa jadi nyambung-nyambung ke Regen lagi?!

"Gue nggak mau nuduh siapa siapa sih Liv, tapi..." aku menatap Livia dan menghembuskan nafas. "Lo tau sendiri"

Livia mengangguk dan menepuk bahuku pelan. Selda adalah sahabatnya sejak sekolah dasar, sementara aku? Aku bahkan baru mengenal mereka di masa orientasi SMP dulu. Satu yang membuatku tidak mau cepat menuduh Selda sebagai pelakunya, dan mengadukan perbuatan cewek itu terhadapku kepada Livia.

Sejujurnya, aku tidak pernah ingin melihat mereka bejauhan seperti sekarang.

Tapi aku cuma manusia, bisa apa? Selda sudah terlanjur membenci kami. Semuanya sudah terlanjur.

Dering Hp Livia menyentak kami dari hening yang cukup lama. Cewek itu mengambil benda itu dari saku jeans yang dia kenakan, melihat nama yang ada di display, dan seketika matanya melebar sempurna.

"Ayam, Dy... Ody"

Livia menyodorkan Hpnya ke arahku sambil menutup mulutnya dengan satu tangan. Aku menerimanya dengan sedikit takut.

Dan melihat nama di display hpnya,

Rahangku jatuh kebawah.

***

"Ini gue, Sella"

Mata kami bersitatap mendengar suara orang di seberang telepon. Aku, dan mungkin juga Livia, awalnya berpikir suara pertaama yang akan kami dengar adalah suara seorang Griselda Afrisha. Ya, orang yang baru saja diperbincangkan panjang lebar.

Aku dan HujanWhere stories live. Discover now