[4] Jalan Pulang

6K 355 2
                                    

HP yang ada di dalam saku rok abu abu ku berkelip kelip menunjukkan tulisan Kak Tania calling...

Aku mendengus. Tapi membiarkan benda itu terus begkelip kelip dan terus berkonsentrasi pada misi yang sedang aku lakukan ini. Ya, M I S S I O N. karena sekarang aku merasa sudah seperti detektif atau agen rahasia Amerika Serikat yang sedang menguntit buronan yang akan melakukan aksinya. Mau tau aku menguntit siapa? Regen dan Fabian. Aku penasaran yaampun! Ada hubungan apa antara Bian dan Regen. Mantanku dengan cowok ketus itu. Si ganteng dan si tukang marah marah.

Aku menggelengkan kepala demi mengenyahkan pikiran pikiran yang mengganggu konsentrasiku. Sorry guys, aku harus focus!

"Mau ngomong apa?" Bian membuka pembicaraan. Mereka bertemu di taman belakang sekolah-aku bahkan baru tau ada taman sebagus ini disini-, sementara aku besembunyi di balik pohon besar yang di kelilingi semak belukar. Berdoa aja semoga habis ini kakiku nggak gatal gatal.

Si cowok ketus itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Kemudian menjawab,

"Lo tau kan sebenernya papa dimana?"

Aku mengernyit. Apa maksudnya?

Hening. Aku semakin meyipitkan mata demi melihat bagaimana reaksi Bian. Tidak ada. Sepertinya Bian tidak menunjukkan ekspresi apapun, datar. Sumpah deh, aku masih belum mengerti ada apa sebenarnya diantara mereka.

"Nggak. Gue nggak tau" jawab Bian datar sambil ikut memasukkan tangannya ke saku celana. Ya,aku bilang ikut karena Regen sudah melakukannya terlebih dahulu. Mereka berdiri berhadapan, aku sudah tau sejak tadi kalau ini pembicaraan serius. Yang aku tidak tahu adalah apa yang akan dibicarakan oleh mereka dan apa hubungan keduanya. Aku benar benar penasaran. Dan sudah sekian kali aku bilang rasa penasaan bisa menggerogoti isi otakku dan membuat tampangku yang sudah bloon semakin bloon lagi.

"Lo ngajak gue ketemu cuma mau ngomong gitu doang? Anjrit, nggak penting banget." Bian mendengus lalu berbalik dan berjalan menjauh. Tapi baru beberapa langkah, suara Regen menghentikan jalannya.

"Sebenernya masih ada" Regen kembali menatap sekeliling dan membuatku harus bersusah payah mengecilkan badan di balik pohon.

"Tapi gue rasa ada enam telinga disini"

Deg.

Nggak mungkin nggak mungkin nggak mungkin. Aku sudah bersebunyi susah payah seperti ini, masa iya Regen liat? Nggak mungkin kan? Aku berusaha menghibur diriku sendiri, dan saat itulah aku melihat makhluk itu. Mataku sempurna melebar, makhluk itu dengan enaknya bertengger di betisku, dengan enaknya berjalan-

"AAARRRGGGHHHTTTTT"

"Ody?"

Bruk brukk Aww

***

Ulet bulu sialan.

Aku mengusap usap betisku yang kini sudah penuh bentolan merah. Hari ini adalah hari paling memalukan seumur hidupku. Arght! Mau disimpan dimana, mukaku didepan bian? Bukan, bukan itu yang aku khawatirkan. Tapi mau di taro mana pride di depan Regen?!

"Kamu kenapa Dy?" Kak Talitha masuk kamarku masih menggunakan setelan kuliahnya. Aku balas tersenyum malas, baru saja membuka mulut untuk menjawab ketika suara terkutuk tiba tiba keluar dari mulut orang yang sekamar dengan ku ini. "Ulet bulu kak, biasa si Ody mah.. dia kan-"

"Brisik lo! Adenya sakit mala di ketawain, erght"

"emangnya siapa yang ketawa? Yee"

"tapi lo ngejek"

"Gue ngga ngejek"

"Itu apa?"

"Apa?"

"Duuhh, kalian kenapa sih, berantem mulu kerjaannya. Kakak pusing nih" Kak Litha menengahi. Aku dan Dilla sama sama mencibir. Inilah yang aku benci saat bersama kakak kakakku terutama Dilla. Rese! Sama sekali nggak au tahu kondisi hatiku. Eh, tapi memang hatiku kenapa? Ah pokoknya Dilla itu ratu rese deh.

Aku dan HujanWhere stories live. Discover now