[23] Photograph

4K 245 10
                                    

"And if you hurt me
That's okey baby, only words bleed
Inside these pages you just hold me
And I won't ever let you go" -Photograph, Ed Sheeran

***

Hujan datang tiba-tiba seakan mengerti kekosongan yang tiba-tiba menyergap jiwaku. Sementara waktu bergulir, malam kian larut dan udara mulai meniupkan dingin yang membekukan. Membuatku menggigil. Membuat siapapun yang melihatku akan mengira aku orang gila yang tidak punya akal karena berjalan di tengah hujan dan udara sedingin ini.

HA-HA. Peduli amat.

Dingin itu tidak ada apa-apanya dibanding sakit yang ada di dalam hatiku. Ya, sebut aku berlebihan. Aku sudah menahan semua ini bahkan berusaha tutup mata dan telinga dengan keberadaan kak Embun serta Regen yang sebegitu mencintainya. Aku lelah.

Apa lagi yang lebih melelahkan dibanding melihat orang yang kamu cintai malah mencintai orang lain? Bullshit semua yang bilang 'nggakpapa asal mereka bahagia'. Omong kosong.

Kamu bahagia tapi disisi lain kamu akan merasakan perih yang luar biasa. Ini bahkan lebih menyakitkan dibanding harus meninggalkan Bian bertahun lalu.

"Arght"

Aku kontan memekik ketika kakiku tidak sengaja tersandung sebuah batu yang berdiri ringan di tengah trotoar. Jatuh terduduk. Sendirian. Di tengah hujan lebat di jam delapan malam. Wow. Betapa mengenaskannya aku.

"Bangun"

Jantungku seakan berhenti berdegup ketika sebuah suara memecah keheningan dan sebuah payung menghalangi air hujan membasahi tubuhku. Aku mengangkat wajah, seketika tercengang menemukan sosok Selda berdiri bersama payung beningnya.

"Bangun" ulangnya, memerintah. Pandangan matanya lurus ke depan dan rahangnya mengeras.

Susah payah, aku bangkit dan menatap Selda dengan pandangan bertanya. Mengapa dia ada disini? Kenapa harus dia yang datang di saat-saat seperti ini?

"Gimana rasanya Dy?"

Aku menegak ludah mendengar pertayaannya. Gimana rasanya? Pertanyaan itu begitu tepat dan menancap di dadaku. Rasanya sakit. Lebih sakit dari penyakit apapun.

"Ma-maksud lo?"

Masih menerawang, gadis itu tersenyum sinis. Senyuman itu, aku hampir lupa Selda yang berdiri di depanku ini bukan Selda yang aku kenal sebagai sahabatku. Dia, Selda, orang yang selalu membuat hari-hariku berubah buruk sejak adiknya meninggal. Seseorang yang paliing tidak bisa menerima kenyataan, egois dan sebagainya.

Matanya lalu beralih ke arahku.

"Sakit 'kan Dy? Huh? Sekarang lo tau kan, gimana rasanya ada di posisi Vanya? Lo ngerasain kan, gimana rasanya cinta yang nggak berbalas? Searah? Sakit 'kan?!"

Tangisku sontak pecah mendengar teriakkan Selda yang semakin menyayat hatiku itu. Vanya, orang yang baru aku tahu sangat amat mencintai Bian, orang yang harus sakit di balik tawaku bersama Bian, orang yang aku tempati posisinya saat ini. Apa yang ada tiga tahun lalu kini berbalik pada diriku sendiri. Sempurna.

Selda baru akan berjalan pergi ketika aku menarik tangannya dan memaksanya untuk tetap tinggal. Memeluknya dalam tangis dan hujan yang menjadi saksi bagaimana air mata kami bersatu padu dengan rinainya.

***

"Van... Vanya hello"

Vanya mengerjap mendengar suara Marta dan tawa lepas khas teman-temannya. Dia menggaruk tengkuk, merasa bodoh dengan melamun disaat semua orang sedang bersenang-senang.

Aku dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang