[35] Run Away

4K 223 6
                                    

"Bahwa sesuatu yang sangat jauh pun, bisa jadi sangat dekat kalau takdir yang mendekatkannya"

***

"BISA KECILIN NGGAK LAGUNYA!"

As you see, itu kalimat perintah alih-alih kalimat tanya. Dilla, di kamarnya yang dulu juga kamarku, menyetel lagu All I Ask dengan volume yang cukup menggelegar sampai ke kamarku yang ada di seberang kanan kamarnya. Iya, aku mungkin akan membiarkannya kalau suasana hatiku sedang dalam keadaan baik. Tapi sayang, entah kenapa sejak bangun tidur moodku hancur.

Seperti ada sesuatu yang mengganjal, dan aku sama sekali tidak tahu apa itu.

"LAGUNYA NGGAK BISA DIKECILIN, VOLUME TAPE NYA BARU BISA"

Kenapa sih, Dilla harus menjengkelkan di saat-saat seperti ini?

Aku mendengus berlebihan sambil melenggang menuju meja kerja kak Tania, yang masih bertengger di pojok dekat jendela. Dengan mudah, aku menaiki meja itu dan duduk di sana. Membuka jendela lebar-lebar seraya merasakan semilir angin pagi dan sinar mentari yang menghangatkan.

Tapi itu tetap tidak membuat suasana hatiku membaik.

Drrrrttt drrrrttt

Aku mengumpat sendiri meraih ponsel yang ada di meja, di samping meja yang aku duduki. Sebelum aku sempat menemukan pesan siapa yang masuk ke ponselku, mataku tertaut pada wallpaper display yang baru aku ganti semalam.

Foto itu membuatku akhirnya menarik senyum. Ya, itu fotoku bersama Regen kemarin. Dan kami benar-benar terlihat manis disana.

From: Regan.

Morning rabbit, breakfast?

Senyumku, tanpa sadar semakin lebar mendapati satu SMS menyangkut dengan atas nama Regan. Sebut aku murahan, ini terjadi secara spontan. Aku, sangat sangat sangat bahagia ketika bersama Regen. Tapi aku, sangat sangat sangat merasa spesial ketika bersama seorang Regan.

Lupakan, aku yakin lambat laun hatiku akan memilih.

Atau... sebenarnya aku sudah punya pilihan?

To: Regan

Morning Horse, sayangnya udah:(

Tepat di detik ke sepuluh, Regan membalas pesanku dan sontak membuatku mengernyit.

From: Regan

Yah, padahal gue udah bawain bubur nih.

Dengan panik, aku turun dari meja dan membuka pintu balkon selebar-lebarnya. Kepalaku lantas menunduk ke bawah, menemukan sosok Regan dengan dua plastik bening yang bisa aku pastikan itu isinya bubur ayam.

Dia berdiri, di sana.Tersenyum manis yang refleks membuatku membalas senyumnya. Perlakuan Regan membuat aku sejenak mengenyahkan atas pernyataan cintanya tempo hari yang belum benar-benar aku jawab. Well, kalau Regan pikir apa yang aku katakan waktu itu bukan termasuk penolakan.

Aku menatapnya bertanya ketika sudah mendarat di lantai satu, masih dengan piyama tidur. Regan malah semakin menarik sudut bibirnya.

Mungkin juga aku tidak perlu terlalu memikirkan pernyataan itu dan membiarkan semuanya mengalir seperti air. Biar aku dan dia begini, untuk saat ini. Cukup.

"Mau sarapan lagi nggaaak?"

Aku memutar kepala, mengedarkan mata keseisi rumah. Sepi, Mama mungkin ke pasar dan kak Litha sibuk di kamar dengan skripsinya.

"Emmmm... gue udah sarapan sih" kataku pura-pura kecewa, "tapi kayaknya bubur enak juga" Tanganku dengan tidak sopannya merebut dua kantung plastik di tangan Regan dengan sekali sentakan. Membuatnya terenyak, tapi sedetik kemudian tergelak.

Aku dan HujanWhere stories live. Discover now