[26] The Fate

3.5K 242 28
                                    

*Read my another story called Disguised*

***

"Night after night I hear my self say. Why can't this feeling just fade away?" -If I Let You Go, Westlife

***

KEBERUNTUNGAN ada dipihakku karena Regen ternyata masih punya urusan dan tidak ikut pulang bersama kak Embun. Rasanya aku ingin berteriak saking senangnya. Iya lah seneng, Regen nggak ada artinya aku terbebas dari awkward moment yang aku jamin bakal kejadian kalau kami bertiga satu mobil. Satu atap kafe aja aku udah stres, gimana satu mobil?

Suara dering ponsel kak Embun menyadarkanku dari lamunan. Dia merogoh dashboard, mencari-cari benda yang terus berteriak minta diangkat itu.

"Halo? Oh, iya ada yang bisa saya bantu?"

Aku punya prediksi itu suara klien butiknya. Buktinya kak Embun formal gitu.

Jalanan lengang membuat dia dengan santainya mengangkat telepon walaupun sedang mengemudi.

"Oh, bukannya kemarin sudah di cek karyawan saya?"

Bosan, aku akhirnya memasang earphone dan menyalakan i-phod. Pelan-pelan tenggelam dalam alunan lagu Almost is never enough. Aku rasa aku akan tidur dulu selama perjalanan ke rumah. Mataku benar-benar sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Dan aku sama sekali tidak menyadari ada bahaya yang akan segera mengancam.

"Iya, tapi saya.. ARGHT?!"

BRAKK

Mataku sontak terbuka, tapi terlambat.

Yang aku temui justru hantaman keras dan kaca depan mobil kak Embun yang pecah berkeping-keping. Kepalaku berdenyut nyeri karena menghantam dashboard dan bisa kurasakan darah segar mulai mengalir disana. Samar-samar, aku melihat tubuh kak Embun tak bergerak di atas setirnya. Membuatku seketika panik.

Tapi sebelum aku sempat melakukan apa-apa, sesuatu kembali menghantam kepalaku dan membuat semuanya gelap. Kesadaranku sempurna menghilang.

Hanya alunan lagu dari i-phod itu yang masih berputar.

***

Hujan mengguyur kota Jakarta secara tiba-tiba ketika matahari baru saja kembali ke singgahsananya. Begitu deras, dan sudah pasti menimbulkan kemacetan mengular terutama di setiap jalan utama.

Regen tidak pernah tidak menyukai hujan. Bagi Regen, hujan yang membuatnya hidup. Hujan yang membuatnya bisa melepaskan segala bebannya.

Tapi tidak kali ini. Regen berkali-kali memukul setir mobilnya dan terus melontarkan sumpah serapah. Sudah hampir tiga jam sejak dia mendapat telepon dari Bian tentang kecelakaan itu. Sial, harusnya ia sudah ada disana sejak tadi. Ia menyesal telah memenuhi permintaan bu Taya untuk membantunya mengoreksi nilai ulangan Kimia dan menolak ajakan Embun. Kalau saja dia tidak menuruti permintaan guru itu, ikut Embun, ceritanya pasti tidak akan begini.

"Reg, halo Regen lo kemana si?"

Regen menghela napas sebelum akhirnya memutar kemudi menuju salah satu kafe di pinggir jalan. Ya, dia akan menyimpan mobilnya disitu. Dan entah naik apa nanti dia ke rumah sakit.

"Lo tunggu aja. Kasih tau gue kalo ada kabar terbaru" ucap Regen, mengalahkan suara hujan.

Bian mendesah khawatir di ujung sana.

"Tentang Melody atau tentang Embun? lo tau Reg, disini yang kondisinya parah itu Ody, Embun cuma luka ringan dan menurut prediksi sebentar lagi dia sadar" Jelas Bian, sedikit membentak.

Aku dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang