[31] It's Just About E and A

3.8K 231 6
                                    

"The star are burning, I hear your voice in my mind. Can you hear me calling?" -A Year Without Rain, Selena Gomez

***

SINAR matahari yang terik menyambut Regen kala dirinya pertama menginjakkan kaki di kota asalnya. Surabaya. Ini pertama kali, ya, tentu saja setelah tiga tahun yang lalu ia pindah ke Jakarta karena pesan mamanya. Pesan yang mengubah banyak hal, sempurna memutar balikkan hidupnya.

Regen berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah bibinya. Setelah UN, Regen rasa, banyak yang berubah dari Papanya. Dia jadi lebih baik, pengertian, perhatian, dan lebih sering di rumah dibanding pergi mengurus perusahaannya seperti biasa. Bahkan, Regen benci mengakui kalau ia ikut senang, Papanya tidak jadi menikah dengan wanita itu.

Dia bilang dia akan menikah ketika Regen dan Bian sudah siap dan memang sudah waktunya.

Aneh, 'kan?

Tapi di satu sisi, Regen bersyukur juga Papanya jadi seperti itu. Karena dengan perubahan sikap Papanya, mungkin, mungkin masih ada celah untuknya memaafkan semua yang terjadi di masa lampau. Mungkin ya,

"Re... gen. Ini betulan Regen huh?"

Regen mengangkat wajahnya, memutar kepala dan sontak matanya membentuk bola. Beberapa meter di belakangnya, Livia, berdiri dengan turtleneck dan celana bahan biru tua. Rambut sebahunya diikat ke belakang. Menunjukkan rahang Livia yang tirus namun tegas.

"Lo ngapain di sini?" tanya Regen, ia benci berhubung dia ke Surabaya untuk meninggalkan masalah di Jakarta. Malah di pertemukan dengan Livia.

Omong-omong, Regen menyebut Livia masalahnya karena ia berhubungan dengan Melody.

"Gue lagi liburan Reg," Cewek itu berjalan mendahuluinya, Regen mengikuti. Matanya lurus pada rambut ekor kuda Livia yang bergerak ke kanan-kiri.

"Mbah putri mbah kakung gue di sini semua," tambah Livia, entah mengapa merasa perlu menjelaskan. Mereka berjalan mengikuti jalanan menurun. Berbelok, sampai keduanya terpisah di satu pertigaan.

Livia teringat sesuatu dan buru-buru memanggil Regen, berteriak.

"Regen! Gue nggak suka lo bikin sahabat gue sakit!"

Regen melengos meski tetap melanjutkan langkah.

***

Aku bergemul di dalam selimut. Berputar, terlentang, miring, tapi rasanya tidak ada satu pun posisi yang pas. Mataku sudah sulit terpejam, ini jam delapan pagi omong-omong. Dan berhubung ini libur, aku harusnya menikmatinya dengan tidur lagi setelah solat subuh.

Tapi mataku rasanya enggan memejam.

Akhirnya, setelah mengumpati diri sendiri, aku membentangkan tubuh membentuk bintang besar seraya menatap langit-langit kamar. Mengambil ponsel dan menggulir news feed. Bosan, benar-benar tidak ada yang menarik.

Gerakanku menggulir layar ponsel tiba-tiba berhenti ketika mataku menemukan sebuah nama. Tapi sedetik kemudian aku mendengus dan tertawa menyesali kebodohan. Itu cuman berita kecil, dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dia.

The Rainstorm ditinggal vocalist lama. Regan, dan kawan-kawan dibuat pusing bukan kepalang.

"Oddyyyyy, Ody wake up please, gue punya sesuatu buat lo!!!"

Aku dengan cepat melempar ponsel ke bawah selimut dan buru-buru pura-pura tidur. Dilla, dia sama sekali tidak peduli. Kakakku itu masuk ke kamarku dan menarik selimut yang membalut tubuhkylu dengan sadisnya. Di tangannya, tergenggam majalah edisi baru yang terbuka di tengah halaman.

Aku dan HujanWhere stories live. Discover now