[6] New Member

5K 252 2
                                    

KATA 'difikirkan' dalam definisiku berarti loading. Tidak pasti, dan sama sekali nggak ada jaminan hasilnya akan ya, apalagi loadingnya udah kelamaan. Kata 'difikirkan' dalam definisi versi bu Verren mungkin beda lagi.

Bagi dia, difikirkan mungkin berarti ya, setuju, oke.

Hari ini hari Sabtu dan aku berdiri di depan pagar sekolah seperti orang linglung. Sialan emang tuh guru. Pake acara nelepon mama segala lagi demi merekrutku untuk jadi anggota eskul Musik.

Lebay.

Maksa.

Nekat.

Jelas aja mama seneng bukan main waktu bu Verren terus memuji muji anak bungsunya ini secara hiperbola-menuruku. Dan jelas aja mama dengan senang hati membagunkanku dan menyuruhku datang ke sekolah demi ikut latihan. Latihan apa??!

Aku menimang-nimang sebentar sebelum akhirnya masuk ke gedung sekolah. Masuk aja, aku sama sekali tidak tahu harus gimana dan kemana. Nice, sepertinya lebih baik aku kabur ke mall, atau ke Toys store, atau kemanapun berburu puzzle Dora. eh, aku udah pernah bilang belum ya,aku ini tergila gila sama serial kartun Dora the Explorer? Ya.. begitulah, terserah kalian mau anggap aku childish atau apa.

"Duh, gimana ya. Kita udah ngubungin sepuluh narasumber untuk wawancara sementara reporter kita sekarang tinggal sembilan."

Aku menoleh kearah suara yang ternyata Livia itu. dia sedang berdiri, berkacak pinggang dengan kening berkerut dan muka kusut di depan ruangan yang belakangan ini aku ketahui sebagai 'basecamp'nya anak eskul madding. Di depannya, duduk beberapa orang yang mukanya nggak kalah kusut dengan si ketua. Mungkin itu anggota eskul mading, ah, Regen mana ya,

oke, aku mulai sinting nyariin tuh anak.

"Ody? Lo ngapain disini?"

Aku tersentak ketika Livia, dan orang orang yang tadi duduk memperhatikannya malah balik memperhatikan aku.

"Eh, Liv, itu, gue.. gue di suruh ikut kumpul musik sama bu Verren. You know lah.." Ucapku gagap. Salah nggak sih kalimatku tadi, aduhh..

Livia ber oh ria-walaupun tidak tahu betul apa maksud sahabatnya ini-- sementara 'anggota' eskul lainnya mengalihkan pandangan ke arah lain. Aku menghela nafas lega, sialnya itu cuma sebentar, karena tiba tiba, seseorang datang, setengah berlari, menghampiri basecamp Livia and the geng dengan nafas terengah-engah.

"Sorry gue telat" ucapnya sambil meletakkan tas dan kamera SLR nya dan ikut uduk di gerombolan anggota.

"Lo dari mana aja sih Reg? lo tau, kita belum dapet partner lo buat liputan. Deadline sebulan lagi dan belum ada satupun yang mulai wawancara" Ucap Livia dengan nada frustasi yang kelewat kentara. Aku tidak tau apa fungsiku disini, tapi entah kenapa kakiku tidak mau diajak beranjak barang selangkahpun.

"Gue bisa wawancara sendiri, emang siapa sih narasumbernya?" Tanya Regen tanpa melihat Livia, dia sekarang sudah asik bergelut dengan kameranya. Hm hm hm, aku ingat Livia pernah bercerita kepadaku tentang bagian-bagian di Eskul mading ini. ada Reporter yang tugasnya wawancara, Redaktur yang tugasnya nulis artikel, Artistik yang tugasnya ngedekor mading, dan fotografer yang tugasnya-semua orang tahu-ngejepret-jepret kamera alias foto-foto dokumentasi. Livia sendiri, dia ada di bagian artistik sekaligus menjabat sebagai ketua. Dan Regen, kalau diliat dari gelagatnya begini, aku rasa dia fotografer.

"Yakin lo? Lo pikir tangan lo berapa bisa ngeliput sambil nulis dan nanya nanya? Reg, masalahnya disini tuh kita bukan Cuma butuh beritanya. Kita juga butuh liputannya, butuh muka reporternya, butuh view yang bagus dan lo nggak bisa dapet itu kalau cuma ngeliput sendiri. Kita butuh semua itu buat di website" Jelas Livia pada orang sok yang satu itu.

Aku tersenyum miring, sebuah ide tiba-tiba terlintas di benakku. Ide yang mungkin aja bisa jadi alasanku untuk tidak berurusan dengan bu Verren dan extra kulikulernya, dan mungkin aja bisa jadi jalanku untuk tahu dimana sisi baiknya 'Regen'. Ya ya ya,

"Gue bisa jadi reporter"

Semua orang disitu serentak menolehkan kepalanya ke arahku. Mati lo Dy, hayoloh, bego lo Dy,

"Apa Dy? Gu.. gue gasalah denger kan, okey, bukannya gue ngeremehin lo atau gimana, tapi-"

"Udah lah Liv, jadi reporter doang kan. Wawancara doang" Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri, Livia, dan anak anak mading yang menatapku terpangah-pangah. Antara mau nolak tapi nggak berani sama mau ngusir tapi segen karena aku kelas 12, baru pula. Livia menggaruk dagunya dengan tatapan bingung. Wajar, dia tau sendiri bagaimana reputasiku di SMP dulu.

Jangan berpikir aku bodoh ya, bukan gitu maksudnya.

"Reg, lo gimana?"

Aku mengerjap dan mengalihkan pandangaanku ke arah lain. Bersiap- siap, kalau saja cowok itu menolakku mentah-mentah, atau bahkan tertawa karena menganggapku sudah sinting menganggap enteng pekerjaan reporter. Regen kan ketus. Dari nada suara dan cerita-cerita Aira pun aku bisa membayangkan bagaimana seorang Regen... Regen Aditya Radian. Ck, ya, namanya doang yang persis banget sama Bian. Kelakuan... jangan tanya aku!

"Terserah, asal dia bisa diandelin"

Ada nada meremehkan di dalam kalimatnya barusan. Tapi entah mengapa itu justru membuatku melengkungkan senyum tipis. Regen sesuai dugaanku, tapi juga tidak benar benar sesuai. Mungkinkah itu berarti 'sisi baiknya' benar-benar ada? Well, bukankah kita tidak akan tahu sampai kita mencari tahu?

"Ok then. Guys, please say hello to our new reporter. Dy, gue percaya sama lo. Welcome" ucap Livia, membuat senyumku semakin merekah.

***

"Jadi, tugas gue apa?"

Regen mengangkat wajah dari kameranya, menatapku sekilas, kemudian kembali bergelut dengan benda itu seakan foto foto di dalamnya jauh lebih penting daripada kehadiranku.

Odyyy hellaww, jelaslaah, emang lo pikir lo ini siapanya?

"Tugas lo ya jadi reporter. Masa lo nggak tau reporter tugasnya apa." Jawab Regen santai. Aku menghela nafas. Just keep calm Dy, sabar.

"Maksud gue, ada tugas special apa gitu... atau nggak?"

Regen tersenyum miring. Sinis, tapi manis. ODY!!!!

"Nothing" jawabnya sambil melirik jam hitam di pergelangan tangan. Cowok itu lalu meraih tas ranselnya, sama sekali tidak menghiraukan keberadaanku dan melenggang meninggalkan ruangan mading bersama aku sendirian.

Aku mendengus sebal. Bertanya tanya apakah aku baru saja membuat sebuah kesalahan? Apakah seharusnya aku ikut eskul musik atau paduan suara saja-dimana aku sudah sangat bosan karena hanya akan disuruh bernyanyi tanpa boleh menyentuh alat musik--?

Apakah aku akan kuat menjadi partner seorang Regen yang ketus dan nyebelin?

Aku baru saja bangkit untuk meninggalkan ruangan itu ketika sebuah benda di atas meja menarik perhatianku. Sebuah buku. Sekilas memang sama sekali tidak ada yang istimewa dari buku besar berjilid spiral itu. Tapi aku jelas mengenalinya. Ingat apa yang Regen lakukan ketika aku menemuinya pada hari pertamaku masuk sekolah? Yes! Ini bukunya Regen.

Dengan kecepatan super flash, aku meraih buku itu dan melesat keluar ruang mading. Mataku terus berkeliling mencari sosok Regen. Mungkin dia sudah pergi, pulang? Manakutahu! Otakku hanya memerintahkanku untuk mencari cowok itu, jadi aku tidak sempat berpikir untuk meminta nomor hpnya pada anak anak mading yang masih berkeliaran di sekitar sekolah. Kakiku membawaku menuju area parkir, kantin, taman, sampai area terakhir-gerbang sekolah-baru aku menemukan siluetnya yang sedang memegang kamera.

Terengah-engah, aku memegang lutut. Sialan. Apa yang membuatku harus berlari demi mengejar cowok ketus itu coba? Tapi entah kenapa aku merasa tindakanku ini yang paling tepat. Mulutku baru saja akan memanggil namanya ketika sebuah sepeda motor berhenti di depan cowok itu.

Regen naik.

Dan aku hanya bisa melongo menatap motor itu berjalan menjauh.

***

A/n

Cuma mau bilang sebenernya cerita ini udah sampe 15 part.

Thanks, nggak ngerti mau ngomong apa lagi di an.


-A
6/3/16

Aku dan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang