[9] Bianicious

5.1K 302 4
                                    

"If you like to do whatever you've been dreaming about,
Then baby you're perfect"
-Perfect, One Direction

***

DULU, ketika umurku baru menginjak 3 tahun, mama bilang aku pernah hampir tenggelam di kolam renang apartemen auntiku di Kuala Lumpur. Sekarang, umurku hampir 17-aku lahir tahun 1997 dan sekarang 2014-dan aku masih agak takut, trauma, parno, ah you name it, sama yang namanya genangan air dalam jumbla besar. Kolam renang yabg besar, danau, apalagi laut! Aku selalu merasa pusing dan terbayang diriku tenggelam di sana tanpa ada yang menolong.

Dulu, 2 tahun yang lalu kurang lebih, aku putus dengan Bian karena ketidakyakinanku kalau kita LDR plus some konflik yang memembuat aku akhirnya mundur dan memulai hidup baruku di Singapore. Sekarang, sekalipun aku kembali bertemu Bian, aku memilih untuk lebih hati-hati lagi dalam urusan hati.

Ika Natasha, dalam Critical Eleven-nya bilang We react to Every Single thing in our life because of our memory. Every single thing. Yeah, aku merasakannya sendiri dan jelas membenarkannya. Termasuk dalam urusan berteman.

"Aww" aku refleks memekik kecil ketika merasa kepalaku diketuk oleh sesuatu. Aira. Membuyarkan semuanya.

"Sakit Aira... itu pulpen buat nulis. Bukan buat getok pala orang" protesku, menatap Aira kesal.

"Abis lo nyebelin, dipanggilin dari tadi nggak nyaut nyaut. Balikk Mel.. udah bell!!"

Aku membalas perkataan itu dengan kerutan alis. Merasa bodoh, kapan aku dengar suara bel? Aira menggelengkan kepalanya sambil berdecak-decak. Sudah siap dengan setelan pulang, sweeter, tas di punggung, dan sebuah payung lipat. Ya, di luar hujan. Disaat-saat hujan seperti ini lah memoriku gampang tersentil. Sensitive, entahlah.

Aira bejalan keluar kelas sambil menggumamkan sesuatu. Tinggal aku sendiri di kelas, oh, kenapa semua orang begitu patuh pada slogan 'Sedia payung sebelum hujan' dan kenapa aku tidak?

Hp di saku rok abu-abuku tiba-tiba berdering nyaring. Of course guys, kak Tania calling...

"Halo kak,.. What? Terus aku naik apa? Di jemput siapa? Oh.. kak Embun.. mobilnya yang Agia biru dongker itu kan? Oke, daaah" aku memutus hubungan. Memasukkan kembali I-phone ku ke saku lalu beres beres dan ikut keluar kelas. Sial. Si Aira udah ngilang entah kemana lagi.

"Ody"

Aku terlonjak. Pertama, karena emang aku kaget, dan kedua, karena orang yang memanggilku itu memanggilku Ody.

"Sorry,, gue bikin kaget ya?"

Aku mengerjap lalu buru-buru menggelengkan kepala. Bian, menatapku dengan sorot mata seperti biasanya, hangat. Berbeda sekali dengan kakaknya yang tatapanya setajam silet. Ah, kenapa harus nyambung-nyambung ke Regen lagi sih?!

"Eh.. dikit sih. Hehe" Jawabku sekenanya.

Bian balas tersenyu. Aku membalas senyumannya dengan senyum kaku, lalu melemparkan tatapan pada hujan yang semakin deras. Kalau sudah begini, aku tidak berani berharap kak Embun akan datang cepat. Pasti macet, banjir, aahh.. Jakarta selau ribet kalau hujan datang.

"Nungguin kakak?"

Kepalaku mengangguk. Bian berdiri di sampingku sambil memeluk jaketnya, sepertinya dia sama seperti aku. Sama sama tidak mematuhi slogan sedia payung sebelum hujan. Tapikan ada Regen! Bukannya mereka adik kakak? Dan setahuku Regen sudah menembus hujan bahkan sebelum aku sadar bel pulang sudah berbunyi.

"Lo nggak bareng Regen?" cetusku, dibalas dengan kilatan kaget dari mata Bian. Entah kenapa cowok itu perlu merasa kaget. Aku yakin, sejak pertama Bian melihatku disinipun, ia sudah memperkirakan cepat atau lambat aku akan tahu.

Aku dan HujanWhere stories live. Discover now