"Huftt, cape juga ngomong sendiri." Ia mendudukkan dirinya di kasur. Arah matanya beralih fokus pada selembar kertas di belakang pintu, ia pandangi sosok pada lembaran tersebut. Ujung bibir Rafa terangkat kala matanya terpaku pada sosok di foto tersebut.

"Cantik ...." Jarinya merayap di atas meja, mengambil sebatang pisau kecil yang langsung ia lemparkan pada foto itu.

"Apalagi kalau gak hidup, pasti lebih cantik," gumam lelaki itu.

Ujung tajam pisau langsung menancap di pintu, tepatnya di wajah sosok dalam foto. Senyum Rafa mengembang, bersamaan dengan melebarnya gelap kebencian di manik matanya. "Rubah sialan."

Alasan Rafa pindah sekolah, tentu karena gadis di foto. Izin orang tua adalah perkara mudah baginya, mengingat kebaikan ibunya yang tak pernah mengecewakan Rafa.

Rafa bangkit dari duduknya, kakinya melangkah menuju pintu, pisau itupun ia ambil lantas ia kembalikan ke dalam sarung pisau.

Lelaki berusia 18 tahun itu pergi meningalkan kamar, tanpa kacamata bulatnya. Rafa memakai helm yang menutupi hampir seluruh wajahnya, terkecuali alis dan mata. Jaket hitam dengan sketsa burung Elang mengapit tubuh nan atletisnya, celana jeans hitam mengetat di kaki jenjang Rafa. Motor dengan ukuran besar Rafa naiki, suara nyaring terdengar saat mesin motor dinyalakan.

••••

Keesokan harinya.

Rambutnya tersisir rapi, jidat terpampang glowing sebab rambut yang disisir rapi ke samping, membentuk gorden yang terbuka. Dengan kacamata legendarisnya Rafa mengamati setiap anak yang berlalu lalang di kantin sekolah. Lelaki itu duduk berdua di pojok kantin, bersama semangkuk mie ayam tercintanya.

Melihat gadis itu memasuki area kantin membuat senyum Rafa mengembang. Dalam diam, manik mata Rafa mengikuti langkah gadis yang sedang menuju supermarket di sebelah kiri kantin untuk membeli susu kotak. Itu sudah menjadi keseharian gadis itu sebelum membeli makanan di kedai-kedai dalam kantin.

Terdapat 3 kedai makanan dengan 1 supermarket di kantin yang luasnya setara lapangan bola voli itu. Bangku panjang dari kayu beserta meja-meja mulus berjajar rapi dalam bentangan luasnya kantin. Tembok-tembok putih terias goresan warna coklat di tiap sudutnya, membuat nuansa kantin terlihat lebih tenang.

Kala gadis bersurai pendek itu hendak membayar minumannya, sang penjaga kasir memberinya sepucuk amplop dengan cap bunga lily.

"Dari siapa, Mba?"

"Dari mas-mas entah siapa tadi, katanya buat kamu," kata Mba kasir sembari mencari kembalian untuk gadis yang sudah lama dikenalnya itu.

Gadis itu mengangguk paham, lantas memasukan amplop berisi surat itu ke dalam saku almamater. Ia mengambil uang kembalian dan keluar dari supermarket.

Termakan rasa penasaran gadis itu langsung menghampiri temannya dan ikut duduk di dekatnya, tanpa berniat membeli makan terlebih dahulu. Amplop itu ia keluarkan dan segera ia buka asal.

"Cieee dari siapa, yahh~?" Temannya meledek.

"Rahasia negara," sahutnya. Saat amplop terbuka, bukan selembar surat yang dia dapatkan. Melainkan sebuah foto, foto wajah pucat perempuan yang tengah memejamkan mata, foto mayat. Dilipatnya segera foto itu dan ia masukan ke dalam kantongnya.

"Kenapa dimasukin lagi? Gue pengin liat juga kali!"

Dengan senyum ramah gadis itu berkata, "No, privasi. Kalau lo tau nanti lo yang ikut klepek-klepek." Kekehan gadis itu nyaring terdengar. Seolah dia habis mendapat sepucuk surat cinta yang tak boleh diketahui siapapun.

"Ckk! Pelit lo!"

"Hm, ga peduli. By the way, Megan kenapa gak berangkat?"

"Rahasia negara," sahut Cantika. Mengembalikan ucapan gadis tersebut.

Di kejauhan, Rafa hanya bisa terdiam saat melihat akting hebat gadis itu. Hal yang seharusnya tak biasa berubah jadi normal dalam hitungan menit. Rafa menatap wajah gadis itu dari kejauhan, bahkan hingga tak mengedipkan mata. "Perfect," gumam Rafa. Setelahnya senyum kecut pun melengkung di bibirnya.

Ini kali pertama Rafa melihat langsung wajah itu. Dan sungguh, perutnya mual. Rafa menutup mulutnya, ia segera berdiri lantas bergegas menuju toilet. Dalam hati Rafa hanya bisa mengumpat. Sejak kapan pula tubuhnya jadi sensitif begini!?

••••

Megan tak berangkat hari, suasana mencekam sedikit pudar, meski masih ada Austin di samping Rafa. Hanya saja semuanya berubah kala kursi di depannya tiba-tiba diduduki gadis bersurai pendek yang menjengkelkan. Rafa menatap ke arah lain, menahan reaksi tubuhnya yang seolah menolak keberadaan gadis itu. Bak sebuah film, deret peristiwa memenuhi otaknya.

Suara-suara itu memenuhi kepalanya.

"Kakakkk! Jangan dibuang kucingnyaa!"

"CKK! KAK EL!! RAMBUT AKU UDAH DI TATA TAU!"

"KAK EL! Jangan dimakan! Itu es krim akuu!"

"Kak El! Sering-sering dateng ke sini, nanti aku sama ibu buatin bubur kesukaan kakak!"

"Raf! Adik lo-"

Gak! Berteriak dalam hati, Rafa pun memukul-mukul kepalanya dengan tangan. Ia tak boleh mengingat kejadian itu, tidak, tidak sekarang. Fokusnya tak boleh hilang hanya karena kesedihan.

Tanpa disadari, Austin sedari awal terus memperhatikan Rafa. Dia tak bisa menebak-nebak lagi, tindakan Rafa selalu ada titik anehnya. Anak baru itu benar-benar di luar prediksinya, mirip si blonde premium dari kelas sebelah. Punggung tangan lelaki itu menopang dagu, wajahnya menghadap ke depan, namun matanya melirik ke samping, memperhatikan.

••••

Beruntung jam pelajaran cepat berlalu. Seluruh siswa di kelas mulai berkemas, sangat bersemangat untuk meninggalkan pelajaran nan melelahkan di kelas. Kala para guru menutup materi pada hari itu, semua berbondong-bondong keluar dari kelasnya.

Rafa berjalan santai menuruni tangga. Sejenak, ia mengeluarkan ponselnya untuk meniliki catatan belanjaan yang ibunya titipkan padanya. Ya, ia disuruh ke pasar dulu setelah pulang sekolah.

Berlarian tak hati-hati, seorang berseragam sama dengan Rafa mendadak menubruk pundak.

Rafa yang sedang tak fokus pun terkejut, kaki kanannya salah langkah hingga tubuhnya hampir tersungkur ke depan. Pasrah sudah dirinya, mungkin memang sudah waktunya.

Namun, waktu seolah terhenti saat sebuah gagang payung menggaet kerah baju lelaki itu. Bak sebuah patung, tubuh Rafa kaku. Gagang payung itu menarik kuat tubuhnya ke belakang, kerah baju lelaki itupun dicekal seolah dia anak kucing.

Rafa kembali berdiri tegak kala genggaman itu terlepas. Lega, ternyata tuhan masih merestuinya bernafas. Rafa pun berbalik, hendak berterima kasih. "Gila, hampir aja... makasi-" Kembali serangan jantung, Rafa membeku saat tahu siapa yang telah menolongnya.

"Sama-sama," sahut gadis bersurai pendek.

~To Be Continued~

🌟 Jangan lupa VOTEE 🌟

CATCH SESSIONWhere stories live. Discover now