Keinginannya hanya satu, menangkap pelaku pembunuhan adiknya. Dan ya, ia seorang pendendam, jika seseorang merebut miliknya, maka milik orang itu pun akan ia rebut. Mata dibalas kepala, nyawa dibalas neraka. Tak apalah meski dirinya harus pindah sek...
Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.
"Sama-sama," sahut gadis bersurai pendek.
Rafa membisu. Tak tahu harus bereaksi apa. Matanya berkedip bengong saat melihat wajah menjijikan itu. "Lo–" Ucapannya terpotong.
"Gue Gabriella." Jari-jari lentik gadis itu menepuk kepala lelaki yang ditolongnya. " Lain kali hati-hati, bye." Lantas peegi melewati Rafa dengan cepat.
Rafa menatap kepergian gadis itu dengan penuh kebagongan. Ia tak dapat mendeskripsikan perasaannya. Pertama kali ngobrol dengan musuh memang sulit. Kaki nan lemas lanjut menuruni tangga, tatapannya tak bisa lepas dari sosok yang telah menolongnya. Hingga sosok itu tenggelam dalam keramaian para siswa.
Barulah Rafa teringat, ngomong-ngomong bocah mana yang telah menabraknya tadi!? Sungguh biadab, sudah membuatnya hampir sakaratul maut, tak minta maaf pula.
"Anak monyet, Cuh!" Rafa meludah ke samping saat dirinya sampai di lantai bawah. Dan, ludahnya benar-benar melompat keluar, mengenai kepala lelaki yang tengah berjongkok di pinggir tangga.
Sosok berambut blonde itu pun mendongak. Punggungnya yang bersandar ke pegangan tangga beralih, dia berdiri. Menjulang tinggi di hadapan Rafa, dengan wajah yang tak bersahabat. "Maksud?" Satu kata yang menusuk telinga.
Shock, Rafa meneguk ludahnya kasar. Jujur, ia takut, ia tak mau masuk BK gara-gara berkelahi dengan bocah itu. "A–anu, m–maaf, gue gak sengaja ... sorry," mohonnya. Kedua telapak tangannya ia satukan.
"Dan? Gue harus maafin aja gitu?" Ia melangkah maju mendekati Rafa. Liar Matanya mengamati tiap raut wajah yang Rafa buat. Seolah tak asing.
Beberapa murid yang melihat pun langsung mundur, berbisik-bisik sembari saling pegangan satu sama lain, takut terjadi haal yang tudak-tidak.
"No, no, no, Blonde gue gak boleh gitu. Aduh, gimana nih?"
"Calm down, girls! Blonde kita gak mungkin kasar!"
"Right, gak mungkin kalau bukan gara-gara kutu buku gak jelas itu!"
"Shuttt! Kalem kalem. Dia gak mungkin kayak gitu, okay?"
Tak lama seseorang bersuara, "Kuning!" Lelaki berkepala plontos itu menepuk pundak si rambut blonde. "No, no, no, yah?" Dia menyodorkannya sebungkus tisu pada lelaki blonde tersebut.
"Nih tisu basah. Kata Aus simpen dulu emosinya, kalau ngebet di-DO jangan sekarang. Lo balik ke sekolah baru beberapa hari loh," ceramah lelaki itu.
Si Blonde menoleh. Wajahnya dingin, tetapi perlahan, urat-urat di lehernya mengendur. Tangannya dengan kasar mengambil tisu dari kawannya lantas mengelap rambutnya sendiri.
Tunggu! Rafa kenal lelaki itu. Bukan yang Blonde, tetapi lelaki berkulit coklat dengan kepala plontos dan alis disedet. Lelaki bernametag Martinus Jaspero. Itulah orangnya, Martinus, orang yang mengejarnya kala dirinya tertangkap tengah mengintip markas.