Keinginannya hanya satu, menangkap pelaku pembunuhan adiknya. Dan ya, ia seorang pendendam, jika seseorang merebut miliknya, maka milik orang itu pun akan ia rebut. Mata dibalas kepala, nyawa dibalas neraka. Tak apalah meski dirinya harus pindah sek...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
"Jadwal harian ...." Rafa mengamati time blocking yang gadis itu buat, Gaby. Ternyata sosok seperti itu punya sisi positifnya juga, walau jelas lebih banyak negatifnya.
Foto yang Cantika kirim ia kira itu memang jadwal keseharian Gaby. Hanya saja, ada bagian yang rumpang. Hari Kamis pukul 15.00 - 18.00 dicoret dari jadwal, dan bukannya diperbaiki, malahan langsung beralih ke kegiatan di pukul 18.00 - 19.00 yang adalah waktu beres-beres rumah. Jadwal harian itu sangat rinci dibuatnya, bahkan waktu 30 menit untuk pergi membeli bahan makanan pun ditulis. Semuanya ada, maka bukan tanpa alasan pukul 15.00 - 18.00 dicoret.
Harus ia selidiki, terutama karena tak ada jadwal untuk hari minggu. Pasti ada hal yang tak orang awam ketahui tentang Gaby. Ini hal yang bagus, berarti prasangkanya tak salah. Meski belum terbukti.
Rafa segera mengambil kunci motornya, pun helmnya. Bersiap pergi membeli perlengkapan untuk hari esok, tepatnya Kamis. Tak terasa, sudah 2 minggu lebih 4 hari ia menetap di sekolahan tak nyaman itu. Ia harap ini cepat selesai dan dirinya bisa pergi dari sini.
Kala matahari doyong ke barat dan perlahan kembali muncul di timur, hari baru kembali dimulai. Kicauan-kicauan indah para ibu mulai terdengar, meneriaki putra-putri mereka yang begitu sulit mandiri, seperti Rafa contohnya.
"Rafaaa! Bangun! Mamah pecat dari KK kalau gak bangaun-bangun loh!" Dengan kesabaran setipis benang dibelah 7, ibu Rafa menggoyang-goyangkan brutal tubuh anaknya. "BANGUN!!"
"Aduh, Iya-iya! Sabar atuh, nyawa Rafa baru balik, nih!" Dengan kening berkerut kesal, Rafa mendudukkan dirinya. Ia menguap, mata yang masih sipit itu pun melirik pada jam di dinding. "Loh! Udah mau jam 7?"
"Iyalah! Makanya jangan ngebo mulu! Udah sana mandi!" Wanita itu memberikan jalan pada anaknya. Dia bersedekap dada menatap anaknya yang berlari membawa handuk. "Gini amat punya keturunan," gumam wanita itu sembari menghela nafas kasar. "Masih untung beban yang gede udah pergi." Setelahnya wanita bersurai hitam pekat itu meninggalkan kamar Rafa.
Dalam waktu 10 menit Rafa bersiap, kini sudah jam 7 kurang 5 menit. Tak mungkin jika dirinya harus menunggu bus dahulu untuk pergi. Namun, ia juga tak mau membawa motor kerennya itu ke sekolah.
"Mamah! Rafa nebeng ke sekolahnya ya!?" Dari arah tangga, Rafa berteriak. Kaki lincahnya melangkah cepat menuruni anak-anak tangga.
"Punya motor dipake! Mamah kan beda arah sama kamu! Yang ada Mamah ikut telat," sahut wanita itu. Wanita itu meraih kunci mobilnya di meja, mencangking tas kerjanya lantas melangkah pergi. "Mamah berangkat dulu, jangan lupa nanti kunci pintu rumah."
Sungguh sakit hati, Rafa menatap kecewa ibunya. Dengan begitu terpaksa Rafa kembali ke kamar, mengambil kunci motornya lantas pergi berangkat sekolah menggunakan motor besarnya. Ia akan memarkirkan motornya jauh dari area sekolah nanti, supaya tak ada yang melihat dirinya, terutama Cantika. Bisa-bisa identitasnya ketahuan.