Keinginannya hanya satu, menangkap pelaku pembunuhan adiknya. Dan ya, ia seorang pendendam, jika seseorang merebut miliknya, maka milik orang itu pun akan ia rebut. Mata dibalas kepala, nyawa dibalas neraka. Tak apalah meski dirinya harus pindah sek...
=============================================== [[For Your Information]]
■》Mengandung kekerasan, kata-kata kasar atau mungkin kejadian yang dapat menimbulkan trauma. ■》Jangan mencontoh hal-hal negatif/bahaya yang ada di dalam cerita.
⚠️DILARANG PLAGIAT, COPY PASTE, NYALIN, ATAU APALAH ITU!! ===============================================
Thanks buat yang udah luangin waktu buat baca cerita gaje ini, dan semoga suka! Lope you! Muach!🥀 💋
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
●•Happy Reading●• -~~~-
"Apasih katanya jam 3 pagi! Ini udah jam 5 loh! Gak on time banget!" Gadis itu mondar-mandir mencari keberadaan sosok yang katanya akan menemuinya jam 3 pagi. Demi langit daan bumi, ia sudah tidak kuat tuk memberi uang tiap kali bocah-bocah itu mengancam.
Menghentakan kakinya ke tanah karena kesal, gadis itupun berbalik hendak pergi. Namun, dirinya malah menabrak dada bidang seorang bermanset hitam dengan wajahnya yang tak terlihat. Helm full face menyembunyikan identitas sosok itu.
"Hati-hati dong kalau jalan." Suara merdu itu menggema. "Nunggu lama, yah? Maaf, tadi ngurus kucing lahiran dulu di jalan." Kedua lengan pria itu diataruh di pundak sang gadis.
"Hah?" Mulut gadis tersebut membuka. Matanya mengamati sosok itu dari atas sampai bawah. Sungguh penampilan yang begitu aneh, sikap pun aneh, apa dia orang mabuk?
"Tadi kucingnya kasihan banget, jadi aku ngurusin kucing dulu baru ngurusin kamu." Menyingkir kedua lengannya dari pundak gadis itu, lelaki itu menunduk kemudian. Gelap matanya menatap lurus ke mata sang gadis.
"Cantika, sorry .... kamu pasti lama banget nungguin aku buat ngasih flash disk itu." Nadanya merendah, seolah meminta maaf, namun terasa begitu palsu.
Mengingat hal itu kembali membuat emosi Cantika memuncak. "Mana flashdisknya!? Sialan! Gak tepat waktu lo, b*ngs*t!" Suara gadis itupun meledak, memekakan telinga.
Lebar telapak tangan sosok berhelm lantas menepuk di kepala gadis itu, Cantika. "Sabar-sabar, gue kasih kok. Emang seberbahaya apa sih video lo yang lagi makan itu?" ledek sosok misterius itu, sengaja memancing emosi.
Dengan nada sabar, Cantika kembali berucap, "Gak bahaya sih ... cuma gue gak suka kalo privasi gue dipegang orang asing!" Ia menepis tangan lelaki asing tersebut.
"So? Setuju jadi mata-mata?" Di balik helm, ujung bibir lelaki itu terangkat, melengkungkan senyum.
Dua minggu Cantika terus bersabar, saat beberapa orang asing mengiriminya video tersebut dan mengancam akan menyebarkan video itu, jika dia tak mau menjadi mata-mata mereka. Sejujurnya, dia diberi kelonggaran waktu untuk mempertimbangkan. Hanya saja semakin lama dirinya berpikir, orang-orang itu akan semakin mendesak dengan memeras uangnya.
"Kasih gue video itu dulu." Cantika mengulurkan tangannya.
"Ini?" Dari dalam saku celana, lelaki itu mengeluarkan sebuah flash disk, lantas menyodorkannya pada Cantika. Namun, tiba-tiba tangannya menggenggam kembali. "Gue bakal kasih setelah tugas pertama lo selesai."
Rahang gadis itu mengetat. "Apa lagi!?"
"Cari jadwal keseharian dia dalam 24 jam/7 hari. Just it, kirim jadwalnya ke nomor gue. Masih nomor yang kemarin, yang foto profilenya kura-kura lagi kayang. Gue kasih batas waktu 2 minggu, okeh?"
Terkejut, mematung tubuhnya, pun memincing matanya. "Mustahil," ujar Cantika.
Tak mengindahkan ucapan Cantika, lelaki itu hanya menepuk kembali kepala Cantika lantas ia berbalik dan pergi menaiki motornya. Deru kendaraan beroda 2 itu merusak merdunya kicauan burung di pagi hari. Memekan telinga gadis malang yang otaknya tengah meledak frustasi. Dengan kesal Cantika mengacak-acak rambutnya sendiri. "Harghh!"
••••
"Megan." Guru mengabsen.
Seorang gadis berwajah datar yang duduk di bangku pojok belakang itu pun angkat tangan. Tatapannya begitu menusuk, bak sedang mengincar mangsanya, padahal itu hanya ekspresi bawaan.
Anak baru yang duduk di sebelahnya pun hanya bisa diam dengan batin yang tegang. Aura kedua manusia di sampingnya sungguh tak ada rmah-ramahnya. Dalam hati, ia berteriak emosional. Bahkan, sang anak baru ingat betul saat dia memperkenalkan diri di depan kelas beberapamenit yang lalu, dan tak ada tatapan ramah dari satupun anak di dalam kelas.
Lelaki itu mengatupkan rahangnya. Sungguh, rasanya ia ingin menenggelamkan wajah mereka ke dasar laut. "Pengen keluar sekolah," lirihnya sembari merebah kepala di meja. Bangun terlalu pagi membuat tubuhnya seolah tak bertulang, begitu lemas.
"Hernandez." Guru lelaki itu lanjut mengabsen. Sejenak, ia membenarkan kacamatanya dengan jari telunjuk, lantas menengok ke arah lelaki di samping sang anak baru.
"Hadir." Lelaki berwajah datar itu mengangkat tangan kanannya.
Apalah sekolahan yang katanya begengsi ini, isinya cuma anak judes. Sebagai anak baru di kelas XI IPA B yang 'katanya' kelas unggulan ini, ia sungguh dibuat kecewa oleh realita di dalam kelas.
"Rafael Sanzio."
"Hadir," jawab lelaki berwajah tegas dengan kacamata bulat yang setia bertengger di pangkal hidungnya. Jari-jari tangannya membenarkan kembali rambut yang sebenarnya sudah licin rapi. Penampilan kutu buku benar-benar serasi dengan wajah sok polosnya.