Keinginannya hanya satu, menangkap pelaku pembunuhan adiknya. Dan ya, ia seorang pendendam, jika seseorang merebut miliknya, maka milik orang itu pun akan ia rebut. Mata dibalas kepala, nyawa dibalas neraka. Tak apalah meski dirinya harus pindah sek...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
"Jadi dia temen lo?" tanya Sam. Pria berambut coklat itu menoleh, menatap Gaby dengan alis terangkat.
Gaby menganggukan kepala. "Lepasin talinya," titah gadis itu. Sejujurnya Gaby pun bingung, bagaimana bisa Rafa ada di daerah pelosok seperti ini? Ada yang gak beres. Gaby bersedekap dada dengan pundak disandarkan pada pintu.
Ikut bersedekap dada, Sam meminta penjelasan pada Gaby. "Dia tau?" Sam berdiri tepat di belakang Gaby, tatapannya bukan lagi tatapan ramah yang suka bercanda.
Dengan santainya Gaby mengedikan bahu.
Setelah tali kekang dilepas oleh para pria mengerikkan itu, Rafa mendongak sedikit. Menatap Gaby dengan urat malu yang menjerat jantungnya. Selama beberapa menit jantungnya serasa mati, tubuhnya pun membeku. Rafa hanya bisa diam kemudian kembali menundukkan kepala.
"Gak mau jelasin?" Kalimat gadis itu seolah menuntut.
Maka Rafa pun mencoba berbicara dengan sopan. "Gue cuma penasaran ... soal ... cewe yang bunuh diri 2 bulan yang lalu. Gue pikir sosok berpengaruh kayak lo tau tentang itu, karna lo salah satu anak yang paling akrab sama beberapa guru." Jari tangan Rafa mengepal, menahan dingin yang menerpa kulitnya. Meski sudah meneduh di teras rumah, tetap saja hawa dingin tak berhenti membelai dirinya.
Hening sejenak, Gaby mengulum bibirnya, bingung ingin menjawab apa. Ia pun menatap Sam, berharap pria itu peka.
"Urusan lo sama kematian itu apa? Sepenting apa?" Sam menyahuti ucapan Rafa, dengan nada ketus tentunya.
Rafa menatap ke lantai, ia tak boleh menunjukkan raut mengenaskannya. "Dia temen gue, temen masa kecil." Rafa mengangkat wajahnya, menatap dengan mata polos nan kosong. "3 tahun yang lalu dia baik-baik aja, tapi setelah gue pindah ... gak pernah satupun kabar tentang dia sampe ke gue, dan kabar terakhir yang gue denger ... dia loncat dari lantai 4. Apa gue salah?"
"Mungkin." Sam menatap lelaki mengenaskan itu, kaki jenjangnya melangkah mendekat lantas menekuk, jongkok. "Baik itu bener atau salah, emang apa yang bisa lo lakuin? Temen lo udah jadi ubi, gak ada yang bisa diubah." Tatapan meremehkan pria itu tunjukkan, seolah sedang merendahkan Rafa.
"Ada." Tak terprovokasi, Rafa menatap pria itu dengan ekspresi yang masih sama. "Kalau informasi itu salah, berarti ada hal yang sembunyiin. Peluang ngebongkar hal itu pasti ada, terutama kalau itu hal yang buruk."
Namun, sentilan keras mendadak mengenai jidat Rafa. "Kebanyakan nonton film. Dahlah, pulang aja sana, gak penting lo." Sam mengelap jarinya ke celana, lantas berdiri dan melangkah mundur. Dengan dagunya Sam menunjuk jalan pulang.