12.Hope and reality

Start from the beginning
                                        

Deg!

Astaga kenapa ia bisa lupa? Cowok itu ... Apa yang ada di pikirannya sih?
Lupakan soal Dirga ... Bagaimana dengan Cherly? Sial!

"Ray? Lo masih di sana kan?" Raysa mengangkat satu alisnya kemudian mendekatkan mulutnya pada speaker handphone nya.

"Gue kesana sekarang! Tunggu gue!"

Tut!
Sambungan terputus Raysa langsung bergerak cepat- bersiap-siap ala kadarnya, mengambil tas, memesan gojek, sambil menahan nafas yang terasa mulai pendek.

Cting!

Sebuah pesan masuk membuat Raysa menghentikan langkahnya.

.unknown number
Datang sebelum hal yang tak kau !!!!!ingin kan terjadi.

Brukk ....

Handphone yang di genggam nya terlepas dari tangannya. Dadanya terasa di cekam dingin. Ia menunduk, memungut handphone nya dengan tangan yang bergetar.

"Gue gak akan biarin lo ngusik siapapun!" Seiring dengan tangan nya yang mulai terkepal kuat.

                         *******

Siang itu, udara di ibu kota terasa lebih panas bukan hanya karna teriknya matahari, tetapi karena amarah yang membara di dada ratusan mahasiswa yang hadir. Mereka datang dari kampus mereka membawa poster-poster bertuliskan tuntutan mereka. Suara peluit megafon, dan teriakan yel-yel menggema, menyatu menjadi satu gelombang suara yang memecah kesunyian jalan raya.

Aroma cat semprot dan keringat bercampur di udara, sementara bendera-bendera organisasi mahasiswa berkibar di antara kerumunan. Di baris depan terlihat beberapa anggota BEM dan juga Dirga?– ya Dirgantara Andre Nicolas, tengah berdiri di atas mobil pik-up yang sedikit reyot dengan mikrofon di tangan nya. wajahnya memerah, serta pita suara yang bergetar hebat karna teriakan yang tak berhenti ia elu-elukan.

"Kita di sini bukan untuk membuat keributan! Kita di sini untuk menuntut keadilan!" Teriaknya nya lantang di ikuti riuh tepuk tangan dan teriakan setuju dari massa.

Mobil-mobil polisi mulai berdatangan kemudian kumpulan seragam hitam itu turun dan berbondong-bondong berbaris dengan rapat seolah tak memberikan celah, diantara mereka telah bersiap dengan senjata mereka di balik tameng yang silau di timpa cahaya mentari itu.

Hiruk-pikuk itu semakin padat dengan aktivitas mereka masing-masing ada yang membagikan air minum, ada yang sibuk memotret bahkan memvidio untuk dokumentasi. ada pula yang diam memperhatikan namun kejadian hari ini terpatri di ingatannya, ia ikut hadir berpartisipasi demi teman sekaligus mulai muak dengan sistem yang terasa begitu tak adil.

"Berhenti atau kita bertindak pada kalian!" Suara dari pengeras suara itu berasal dari kumpulan pria berseragam 'polisi' itu.

Ricky berdecih, ia berteriak tak kalah lantang "Berhenti? Kalo gue yang perintah kalian supaya buka kedok-kedok lo pada, berani gak?!"

"Huuuuuuu."

"HIDUP MAHASISWA!"

Sorak-sorai dari mahasiswa mulai bersahutan beberapa dari mereka mengacung-acungkan bendera mereka, ikut bersorak dan semakin berani melangkah mendekat ke garis polisi.

"Apa yang kalian mau? Kami akan menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan." Dirga berdecih kini lebih sinis ia merebut microphone dari Ricky kemudian tertawa sarkas.

"Lo pada minta kita selesaikan dengan cara kekeluargaan ya? Kemarin juga kita udah ngomongin baik-baik kan? Tapi kalian seenaknya tutup mulut ibu korban, terus kasus itu gak di usut-usut? Dan gak ada klarifikasi? Minimal minta maaf dong! eh sekalian penjarain seumur hidup aja tuh anomali!"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: 7 hours ago ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Epilog tanpa prolog : From different way to same wayWhere stories live. Discover now