11.Seperti luka namun tak berwujud

Start from the beginning
                                        

"Eee tapi kalo lo butuh ruang buat privasi lo ... gue ngerti kok gue gak nuntut lo buat cerita."

"Emmm ... tapi kalo lo udah gak sanggup simpen sendiri lo boleh kok cerita kapan pun gue siap dengerin." Lanjut Raysa.

Cherly mendadak beku ia bingung, jelas Raysa telah mengulurkan tangan tapi apa yang harus ia lakukan?

"Makasih ya sya udah ngertiin gue ... Gue gak tau lagi harus lari kemana lagi pas tau semuanya terasa semakin asing." Lagi?
Again and again airmata nya kembali mengalir deras 'Lo cengeng banget sih Cher!' batinnya berteriak keras.

Cherly berbalik membelakangi Raysa tak ingin airmatanya kembali di lihat Raysa rasa-rasanya dari kemarin keran matanya bocor hingga terus merembes keluar efeknya terlalu ngena di hati sih.

Raysa mengelus punggung Cherly pelan.
"Terkadang kita perlu diam bukan karna kita lemah, tapi kita berusaha meresapi sakit kita sendiri agar kita menemukan titik untuk kita bangkit lagi, adakalanya kita mundur bukan berarti kita kalah, tapi memberi ruang untuk melompat lebih tinggi." Raysa berkata bijak tapi kata-kata Raysa malah membuat Cherly menahan tawa.

"Kalo mau ketawa-ketawa aja ... jangan di tahan entar kentut."

"Pftt ... Hahahaha." Tawa Cherly akhirnya pecah ia tertawa hingga ingusnya ikut keluar mengintip dari lubang hidungnya.

"Di kata gue kodok di suruh lompat-lompat segala!" Cherly terlihat tidak terima dengan kata-kata mutiara Raysa tadi.

"Itu perumpamaan astaga!"

Keduanya tertawa terbahak-bahak namun tawa Cheryl kali ini terlihat sumbang dan Raysa menyadari itu.
Raysa menarik tubuhnya untuk duduk dan di ikuti oleh Cherly.

"Lo kalo mau nangis ... Nangis aj–"
Belum selesai Raysa berucap Cherly lebih dulu memeluk tubuh Raysa.

"Diem!" Seloroh Cherly. Dan tangis yang tadi luruh tanpa isakan kembali membuncah gadis itu terisak keras membiarkan airmatanya jatuh di pundak Raysa, Raysa yang kaget mengulurkan tangannya untuk mengusap pelan punggung Cherly tanpa ucapan, ia rasa tindakannya saja sudah cukup dari pada berbicara panjang lebar.

Namun ia malah gagal fokus ke arah lain, membuatnya berdehem kemudian tertawa kecil.

"Si anjir malah ketawa!" Raysa di buat tertawa keras karna ucapan Cherly.

"Tete lo gede juga," Ujar Raysa.

"Si anjay lah mesum lo!" Semprot Cherly reflek mendorong tubuh Raysa. Raysa terbahak-bahak mendengar respon Cherly gadis itu menyipit.

"Jangan-jangan lo udah di grepe-grepe!" Raysa menutup mulutnya sok terkejut.

"Mulut lo tu amit-amit! Ini masa pertumbuhan! Iri lo tete lo gak tumbuh-tumbuh!"

"Astaga mulai nih tete shaming."

"Pftt ... Sialan perut gue ketawa anjirr hahhahaha." Cherly tertawa terbahak-bahak dengan tangan yang memegangi perutnya.

"Nah gini dong lo kliatan lebih hidup kemarin-kemarin lo lagi mati suri jadi bawaannya melow mulu!"

"Siape juga yang mau sedih mulu anjirr! Gue juga pengennya bahagia terus!"

"Masuk akal sih, kalo mau bahagia terus ke surga aja ... Di surga juga enak."

"Lo duluan lah gue ikhlas lahir batin." Cherly tampak tersenyum manis.

"Makasih tawarannya tapi jangan dulu belom ada bekal."

"Di kira lagi mau tur bawa bekal segala?"

"Bekal iman Cherly ya Allah! Lo hidup di dunia ini ngapain aja kalo gak buat beribadah sama Allah!"

"Buat having fun lah! Ribet."

"Kita sama-sama mengingatkan ya ... Hidup ini surga untuk orang gak beriman dan penjara bagi orang-orang mukmin jadi wajar lah kalo kita nemuin kesulitan karna ya ... ujungnya kalo kita beneran sabar ... Allah bakal ganti yang lebih baik di akhirat nanti paham dik?"

"Ngihhh ustazah sampon di paringi ati seng bakoh kanggo ngadepi kenyataan seng ugal-ugalan, aku seng asline kui sabar tiada batas ustazah."

"Malah puitisasi." Raysa memutar matanya jengah, Cherly nyengir sebagai jawaban. Tawa keduanya reda, kemudian hening hingga suara hujan sayup-sayup mulai terdengar di telinga keduanya

Brak!

Jendela kamar Raysa terbanting kuat akibat angin kencang yang ternyata di sertai hujan lebat yang menggila, membuat keduanya menoleh.

"Astaghfirullah! Gue lupa nutup jendela kamar dari tadi!" Raysa buru-buru bergerak hendak menutup jendela kamarnya sebelum bunyi berdebum membuatnya merapatkan tangannya ke telinga.

Srett ...
Sebuah surat melejit bersama anak panah yang tertancap sempurna pada lukisan abstrak yang ada di dalam kamar Raysa.

"Sya?"

Cting! Handphone Raysa bergetar gadis itu buru-buru mengambil handphonenya di atas meja nakas dengan tangan gemetar.

.unknown number
Let me show the little crime, you like this one?

Shit! Raysa membuka kembali jendela kamarnya, memastikan si pengirim surat masih ada di sekitar rumahnya tapi nihil, sejauh mata memandang hanya hujan yang terlihat seperti tirai di sertai kabut tipis yang membuat jalanan di depannya terlihat mengabur, Raysa meremas pinggiran jendela kamarnya kuat.

'Ternyata orang itu gak main-main dengan ancamannya'

                              *******

Hola!

Satu ekspresi untuk part ini?

Kira-kira apa keinginan unknown number ini? Kalian penasaran? sama aing juga😔🤚

"Tetaplah hidup, meski itu adalah pilihan dari banyaknya opsi yang paling menyakitkan."

Salam kecuf dari aing ❤️💋🤸
TBC see you in the next part bubay🦋💃
Jangan lupa votmen yeah ...






















Epilog tanpa prolog : From different way to same wayWhere stories live. Discover now