Papa tampak tertawa, di angguki yang lain makan malam terasa santai membuat Cherly mengehembuskan nafas lega.
"Jadi apa yang menjadi pembahasan serius itu?" Sang kakek tampak meminta kejelasan.
"Seperti yang ayah lihat di media?" Jawab papa Cherly.
"Tentang anak sulung mu yang kembali membuat kekacauan?" bersamaan setelah ucapan itu terlontar Arkan terlihat baru datang dan duduk di kursi tepat di samping kanan Cherly.
"Eh baru aja di omongin 'bintang tamunya' udah nongol aja nih!" Bibi Talia sedikit menekan kata bintang tamu, dengan senyum yang tak luntur dari paras cantiknya, Arkan mendengus pemuda itu mengambil gelas yang berada di hadapan Cherly dan meneguknya kasar.
Mata Cherly membulat gadis itu melotot ke arah Arkan seakan meisyaratkan–itu gelas punya gue! Namun pemuda itu tak menyahut kemudian mengangkat bahunya tak peduli.
"Kayaknya nasihat kakek hari itu gak nyampe di telinga Arkan ya?" Sang kakek menatap Arkan semua mata langsung menatap kearahnya. Arkan hanya memutar matanya malas.
"Kali ini kakek benar-benar gak habis fikir sama kamu Arkan?!"
Papanya terlihat mengehembuskan nafas kasar.
"Udah berapa masalah yang kamu timbulkan? Tawuran besar-besaran yang ternyata dalang dari otak penyerangnya itu kamu? Ngehamilin anak orang sampe orang tuanya suruh tanggung jawab? Kali ini? Kamu nabrak anak orang sampai meninggal mau sebanyak apalagi masalah yang kamu buat hah?!"
Kali ini sang papa yang bersuara dan lihat tidak ada wajah takut atau pun menyesal di dalamnya. Membuat papanya menghembuskan nafas berat.
"Kamu itu ke kurangan apa sih Arka?"
Arkan mengangkat alisnya "Ini serius papa nanya aku kurang apa?" Pemuda itu tertawa hambar. Tidak ada yang bersuara semua diam tampak menyimak.
"Waktu," Ucapnya rasanya berat sekali hanya sekedar mengungkapkan itu.
"Arkan cuman minta waktunya papa." Kali ini ia menunduk.
"Waktu gimana sih? semuanya papa udah kasih ke kamu, apartemen, mobil, motor, ATM dan biaya-biaya buat nutupin semua kasus kamu. itu masih kurang ARKAN!!" Kali ini suara papanya meninggi.
"Iya kurang, kurang banget malah!" Pemuda itu balas menatap papanya dengan berani.
"Kamu seharusnya bersyukur masih punya papa ... Cherly saja gak pernah mengeluh dengan keadaan–"
"Selalu Cherly yang di bahas Cherly, Cherly, Cherly! dia tuh bukan adek kandung aku ngapain bahas dia sih!!"
"DIA ADIK KAMU ARKAN!!" Cherly menunduk memainkan buku-buku jarinya gusar.
Arkan melirik Cherly sinis, "Beruntung banget ya? Ngerasa jadi Cinderella lo di pungut keluarga kaya?"
"ARKAN!!!" Kali ini neneknya yang bersuara.
"Loh benar kan? Semenjak ibunya meninggal kan memang harusnya dia gak ada hak di keluarga ini." Arkan menjawab santai.
"Gimana Cherly? mau keluarga gue yang usir atau gue yang nyeret lo sendiri?" Cherly masih tak menyahut ia semakin menunduk dalam.
"Kalau orang ajak ngomong di liat mukanya!" Arkan menarik dagu Cherly kasar mengangkat wajahnya yang telah di genangi airmata.
"APA-APAAN KAMU ARKANA!!!" Papanya telah berdiri dari duduknya hendak menghalau gerakan Arkan.
"Kenapa masih belain dia terus sih pa?!!"
Arkan menatap papanya bingung.
"Padahal disini Arkan juga sakit."
Tante Sandra menyahut.
"Semua juga tau kamu lagi sakit Arkan tapi kamu yang gak bisa di omongin–"
"Semua tau tapi diem aja kan? Gak ada tuh yang nanya gimana keadaan Arkan sekarang? Udah enakan belum? Semuanya bungkam semuanya milih tutup mulut! Sialnya yang peduli malah orang yang gak pernah aku harap kehadirannya." Arkan melirik Cherly.
YOU ARE READING
Epilog tanpa prolog : From different way to same way
Teen FictionAttention!!!⚠️ Dilarang keras memplagiat cerita ini ... Mohon kerjasamanya ;) Dunia tak lagi sama, mata yang dulu menatap dengan dalam entah mengapa tidak lagi mengerjab, tangan yang dulu kokoh kini tak lagi bertenaga, hanya air mata menjadi saksi...
11.Seperti luka namun tak berwujud
Start from the beginning
