Part 45

536 71 57
                                    





Jani POV

Mengapa segalanya terasa sangat berbeda? Rasanya aku belum terlalu lama pergi dari Harkapura. Istana menjadi lebih megah dari pada sebelumnya lihatlah bagaimana emas-emas itu melekat dengan kokoh di tiang-tiang istana, perintilan kecil pun menjadi lebih beragam dan sangat berkilau.

Melihat segala gemerlap ini membuat mataku sedikit pedih dengan kilau-kilauan dari emas itu, ku tutupi wajah Buntala dengan selendang yang ku kenakan.

Istana selir? Hah kenapa Permasuri itu tidak kunjung mengakhiri perselisihan yang ingin sekali kutiadakan dalam hidupku. Mengirim seorang Raden Ayu dan Putranya ke Istana selir tentu saja bukanlah hal yang pantas apalagi aku istri dari kandanya.

Kuhentikan langkahku, membuat pelayan yang berjalan di depan dan belakangku dengan seketika ikut menghentikan langkah mereka. "Mengapa aku diarahkan masuk kedalam Istana Selir dayang?" Dayang itu, wanita yang selalu kulihat berdiri bersama dengan Maheswari.

Dayang itu menunduk sopan dengan mengatupkan kedua tangannya. tanpa sekalipun menatapku balik. "Maafkan hamba Raden Ayu, hamba sama sekali tidak bisa mempertanyakan keinginan Permasuri."

Ya walaupun dia orang terdekat Permaisuri, tentu saja ia tidak bisa. "Aku akan beristirahat di taman sambil menunggu suamiku." Kulangkahkan diriku ke arah pohon besar berdaun rimbun, tempat kesukaanku dan suamiku untuk mencuri waktu bertemu di Istana ini.

Para dayang itu hanya mengikutiku tanpa mengeluarkan komentar apapun, kurasa karena mereka sudah mengerti betapa kuatnya posisiku sebagai Raden Ayu yang dicintai Senopati Byakta, dan adanya Buntala sebagai hasil dari hubungan baikku dengan Senopati.

Kuturunkan Buntala di bawah pohon rindang dengan rerumputan hijaunya yang terawat dengan baik ini, bayi laut ini langsung mengangkat kakinya sambil menatap aneh rerumputan yang terasa menggelitik telapak kakinya.

Astaga aku baru ingat Buntala tidak pernah merasakan rumput dan tanah secara langsung, sejak lahir hingga usianya 3 bulan ia terus berada di laut. "Hahaha tidak apa-apa nak, kamu akan menyukainya." Kucoba menapakan kaki Buntala ke atas rerumputan, membuatnya merengek lebih keras lagi memprotesku.

Melihat wajah Buntala yang sudah bersiap menangis, kuputuskan untuk duduk menatap pegunungan yang tersaji dengan sangat indah, pemandangan paling indah yang amat kusukai.

Kupangku bayi tampanku, membuat nya dengan tidak sabar menyentuh-nyentuh bagian dadaku sambil menatapku berbinar. "Apakah kau sudah lapar nak?" Buntala tersenyum cerah. "Kau tidak pernah puas seperti ayahandamu!" Kucium pipi gembilnya, sambil membuka pengait teratas bagian dada dan menutupinya dengan selendang.

Ah sensasi hisapan kuat yang seperti membawa nyawaku pergi mulai terasa lagi, selama tiga bulan aku belum terlalu terbiasa dengan hal ini, entahlah kurasa karena Buntala yang terus tumbuh rasanya tidak pernah sama cara ia menghisap ASI. Namun rasanya terbayar begitu melihat perkembangan tubuhnya yang sekal berisi dan tidak kurang satupun, mungkin para ibu merasakan hal yang sama juga denganku.

Semilir angin lembut yang menyejukkan menerpa wajahku, ku hirup dalam-dalam udara menyegarkan yang tidak pernah ku temukan diduniaku. Tempat ini, dunia ini layaknya surga yang tidak pernah diketahui di masa depan, tersembunyi entah di bagian mana.

Jika aku kembali pulang suatu saat nanti akan kucari tempat ini, tapi sejujurnya aku tidak pernah lagi mengharapkan kembali, karena seluruh duniaku sudah berada di sini.

Lamunanku terhenti ketika bising dari alat makan yang beradu dengan yang lainny, berbagai sajian mulai dihidangkan para dayang ke hadapanku, semerbak bau makanan yang menggugah selera memasuki penciumanku, segarnya udara sudah tergantikan oleh harum dari hidangan yang tersaji.

Cinta Sang SenopatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang