Part 28

952 95 3
                                    




Senopati Byakta dari kerajaan Harkapura, sesosok pria yang sangat dikenal karena penaklukan-penaklukan dan kekuasaan terbesar kedua setelah Maharaja yang dimiliki pria itu. Terdengar sangat luar biasa di telinga siapapun yang mendengarnya, namun di saat yang bersamaan menanggung banyak beban berat yang dipikulnya di pundak pria itu.

Arahan yang diberikan sang petapa sekaligus salah satu guru spiritualnya, untuk mengikuti jejak keluarganya menjadi seorang Senopati yang setia sekaligus memiliki prestasi yang membanggakan tentulah tidak mudah. Hampir seluruh kehidupan yang dimilikinya ia dedikasikan untuk kerajaan ini, terkadang ia merasa sangat ingin mengambil sehari saja berhenti melakukan kegiatannya sebagai seorang senopati, namun karena terlalu penting posisinya, tidak pernah sekalipun semenjak ia menduduki kursi ini, terlepas dari jabatnnya.

Setelah kembali dari jalan-jalan singkat dengan Anjaninya, ia kembali ke markas pelatihan Rajawali untuk meninjau ulang latihan para prajuritnya juga merencanakan sebuah perjalanan yang diperkirakan akan memakan waktu berbulan-bulan lamanya.

Sang Senopati menghembuskan nafasnya berat, untuk pertama kalinya perasaan tidak rela menghinggapinya, karena meninggalkan istri yang baru dinikahinya beberapa waktu yang lalu. Rasa bersalah juga menggelayuti hatinya, ia akan membiarkan wanita yang dicintainya megandung sendirian tanpa kehadirannya, rasanya ia menjadi suami yang tidak memiliki kontribusi apapun.

Arangga yang menyadari tingkah berbeda dari Senopati Byakta, pria yang biasanya sangat larut ketika membicarakan penaklukan serta ambisinya kali ini terlihat tidak begitu fokus. "Kau baik-baik saja?" Arangga berkata dengan santai, dikarenakan mereka hanya berdua di depan sebuah peta yang membentang.

Byakta menatap Arangga sekilas, kemudian menghembuskan nafasnya lagi. "Aku merasa tidak tega meninggalkan istriku di kediaman, kami baru menikah belum sampai satu bulan. Namun aku sudah meninggalkannya berkali-kali."

Arangga menaikan baunya acuh. "Kalau begitu ajak saja Raden Ayu, kita hanya pergi untuk melihat-lihat wilayah yang sudah kita taklukan bukan menaklukan penaklukan yang berbahaya." Arangga memberikan saran yang langsung di tolak dengan gelengan tegas sang Senopati. "Kau sudah melihat sendiri saat perjalanan kemari, Raden Ayumu adalah wanita yang tahan disegala medan. Jika kau tidak menikahi Raden ayu atau jatuh cinta kepadanya, aku tahu kau akan menjadikannya orangmu di Istana kan?" Byakta menyetujui nya tentu saja, jika ia tidak jatuh cinta kepada Anjani, hal itulah yang akan dilakukannya.

"Ya kurasa akan seperti itu, nyatanya ia wanita yang berbeda Arangga. Aku menikahinya sebagai seorang istri utama dan akan menjadi satu-satunya, karena ia satu-satunya tentu aku merencanakan memiliki anak dalam waktu dekat Arangga, Perjalanan jauh dengan medan yang beragam tentu tidak akan baik untuk seorang wanita yang hamil muda nantiya."

Arangga memincingkan matanya ke arah junjungan sekaligus sahabatnya ini. "Kau sangat yakin akn memiliki anak dalam waktu dekat, kukira kau hanya akan mengangkat anak untuk kau didik menjadi pewarismu." Arangga menyadar, belakangan ini Sang Senopati memiliki daya tarik lebih kepada anak-anak yang mereka temui.

Byakta tersenyum miring sambil sesekali berpindah tempat untuk memperhatikan arah yang akan diambilnya saat perjalanan. "Tentu aku sangat Yakin dengan hal tersebut Arangga, tunggulah beberapa waktu lagi, kau akan mendengar kabar bahagia dariku dan istriku." Byakta berkata dengan penuh semangat, walaupun rasa cemas masih hinggap di hatinya karena membohongi istrinya perihal anak yang ingin di tunda oleh Jani.

Jika alasan yang dibuat Anjaninya tidak berkaitan dengan kepergian gadis itu yang akan terasa berat memiliki anak, mungkin Senopati Byakta akan menganggukan kepalanya setuju begitu saja.

*****

Jani terus mengikuti langkah Permaisuri Maheswari yang sedari tadi hanya mengajak Jani untuk berkeliling kediaman tanpa tentu arah dan tanpa berbicara sepatah kata pun kepadanya, Jani hanya bisa mengeluh tentang betapa pegal kakinya yang tidak beristirahat dari tadi siang hingga malam hari ini. Seolah-olah tidak peduli dengan Kakak iparnya yang sudah melambatkan langkahnya Permasuri tetap melanjutkan lakahnya dengan langkah tegak juga kepala yang terangkat angkuh, memaksa Jani mengikuti langkah sang Permasuri.

Jani mendesah pelan, menyadari adik ipar sekaligus Permasuri Harkapura ini sedang mempermainkannya.  Jani menghentikan langkahnya, memilih tidak melanjutkan langkanya lagi menyusul Permasuiri yang sudah berada beberapa langkah didepannnya.

Jani memilih melangkahkan kakinya ke arah sebuah kursi yang terbuat dari akan pohon, mendudukan dirinya disana dengan nyaman. Sang Permasuri yang menyadari sang ipar sudah tidak mengikuti langkanya lagi seketika membalikkan tubuhnya, mengerutkan keningnya bingung karena untuk pertama kalinya ada seseorang yang tidak mengikuti keinginannya dengan baik, karena selama ini semua orang selalu mengikuti perkataannya tidak peduli seorang maharaja ataupun seorang senopati seperti kakaknya.

Permaisuri Maheswari mendekat ke arah iparnya itu. Jani yang menyadari tatapan bertanya itu segera mengembangkan senyum terbaiknya. "Ah maafkan aku Permasuri. Kakiku benar-benar pegal sehabis naik turun bukit bersama suamiku. Maafkan kelancanganku." Dengan tersirat Jani mencoba berkata bahwa suaminya adalah seorang Senopati Harkapura yang bisa dikatakan seorang dengan kekuasaan yang hampir setara dengan Sang Maharaja berkat penaklukan-penaklukan yang dilakukan. Berharap sang Permasuri ini tidak sembarangan bertindak dengan Jani.

Maheswari yang menyadari maksud dari perkataan itu tersenyum miring dengan pandangan yang merendahkan. "Sepertinya ada seseorang yang menganggap dirinya ikut bermartabat dengan status yang dimiliki suaminya. Yah memang tidak ada salahnya memanfaatkan status setinggi itu dengan baik, namun ketahuilah siapa aku dan siapa diri kamu sebenarnya dengan baik Rinjani, agar kamu tidak mempermalukan dirimu sendiri!  Aku terlahir dari seorang tuan putri dan keturunan ayahku yang memiliki keagungan, juga sudah disiapkan menjadi istri seorang Maharaja. sementara kamu terlahir dari seorang pangeran buangan dan seorang pelayan cacat dan parahnya lagi kamu wanita simpanan kakakmu sendiri." Maheswari menyunggingkan senyum kemenangannya sambil berlalu pergi begitu saja dari hadapan iparnya dengn langkah angkuh.

Mayang yang mendengar perkataan menyakitkan sang Permasuri mencuri-curi pandangan ke wajah Jani yang nampak tidak terpengaruh sedikitpun Sementara tangan Bibi Laksmi sudah tergenggam kuat satu sama lain untuk menahan amarah yang membuncah di dalam dada wanita itu.

"Permasuri aku tidak menyangka orang seagung dirimu mampu berkata hal rendahan seperti itu." Jani berdiri dari duduknya, ia berdiri didepan sang Permasuri dengan tatapan yang ikut memandang merendahkan.

"Permasuri seseorang yang merendahkan orang lain untuk membuat dirinya berada diatas, adalah orang-orang yang sesungguhnya tidak berada di atas karena pemikiran mereka. Sebagai seorang kakak ipar yang baik aku akan menasihatimu untuk menjaga mulut manis mu itu, ingatlah kau sedang mengandung." Jani menyeringai puas melihat wajah angkuh itu.

Jani membalikkan tubuhnya untuk segera pergi ke kamarnya, rasanya perutnya sudah terasa mual karena lapar. Permasuri melirikan matanya kearah sang dayang yang berada paling dekat dengan Jani, dayang tersebut dengan sengaja menjegal kaki Jani, membuat wanita itu terjatuh dengan mudah karena tubuhnya yang memang sudah lemas.

Sang Permaisuri menyunggingkan senyum tipisnya di bibir merahnya. Namun senyum itu luntur dikarenakan Jani yang tidak bangun lagi, mata wanita itu malah terpejam rapat dengan damai seolah-olah tertidur di atas reremputan hijau. Kedua dayang Jani dengan panik menghampiri majikannya yang pingsan, berusaha membangunkan Jani namun tiada hasil.

Bibi Laksmi dengan panik mengguncang-guncang tubuh Jani dengan sesekali menyebut nama keponakannya itu. "Pengawal! Bawa Raden ayu ke kamarnya, Mayang segera panggil tabib." Sang permaisuri berdiri dengan wajah pucat, khawatir Byakta memarahinya atas insiden receh begini

_
_
_
_
_

Cinta Sang SenopatiWhere stories live. Discover now