Part 43

922 74 52
                                    



Terombang ambing di atas lautan selama berbulan-bulan telah membuat Jani terbiasa akan datangnya badai yang menerpa, walaupun badai terkadang terlalu ganas menerpa namun entah mantra apa yang di bisikan Byakta pada Bahtera, sehingga mereka selalu lolos dari pusaran kematian yang ada di lautan.

Matahari yang terik enggan membuat Jani keluar dari kamar berukuran kecil yang sudah sangat nyaman di tinggalinya, tapi sepertinya putra kecilnya ini terus merengek seakan memintanya untuk pergi keluar.

Buntala Abiyya, nama yang di sematkan kepada bayi gemuk yang lahir 3 bulan lalu oleh sang Ayahanda, membawa sukacita pada seluruh armada Maha Gandala.

Tombak tajam yang pemberani, arti nama bayi itu yang sebenarnya mendapat pertentangan dari sang ibunda. Bagi Jani nama itu seakan nama yang akan membawa banyak masalah serta kesibukan untuk putrnya, Byakta berusaha sangat keras meyakinkan Jani akan penyematan nama itu untuk putranya tepat sesudah badai dimana putranya di lahirkan.

Rengekan Buntala seketika berganti dengan loncata-loncatan riang di gendongan Jani, begitu melihat Byakta masuk ke dalam kamar.

Byakta mengambil Buntala dari gendongan Jani, membuat Bayi itu tertawa dengan bahagia sambil melirik Jani sekilas, Jani hanya bisa mendengus kesal melihat tingkah Buntala.

"Apakah putraku ini membuat ibunda kesal?" Pertanyaan Byakta hanya di balas dengan tatapan berbinar serta senyum lebar dari Buntala.

"Buntala ingin keluar dari kamar, namun matahari terlalu terik Kangmas, nanti bisa hitam." Jani berseru lelah.

Byakta malah melangkah ke luar dari kamar, berniat membawa putranya ini mengelilingi kapal. Baru saja satu langkah kaki Byakta keluar dari kamar, Jani sudah mengeluarkan ancaman andalannya baru-baru ini. "Kalau kalian berdua keluar dari kamar, minum saja susu sapi! Ibunda tidak mau lagi ya!" Byakta seketika mundur dan langsung menutup pintu kembali, membuat Buntala yang berada di dalam gendongannya seketika terdiam hendak menangis.

Tangis Buntala pecah memekakan telinga, Byakta menatap istrinya memohon. "Istriku lihat bayi gemuk ini, apakah kau tida memiliki belas kasihan untuk bayi selucu ini? Ia hanya ingin bermain keluar dengan Ayahandanya kasih ku."

Jani menatap Buntala tidak tega. "Tapi di luar sangat terik Kangmas, Buntala bisa berubah hitam." Jani mendesah frustasi.

Byakta mengerutkan keningnya, kurang suka dengan pendapat Jani. Mengapa putranya harus menjadi bayi putih yang menggemaskan, padahal para wanita di Harkapura lebih menyukai pria berkulit coklat dengan tubuh kuat. "Para gadis tidak akan menyukai pria berkulit putih istriku."

Jani mendesah frustasi sambil memijat keningnya. "Tapi Buntala masih bayi berusia 3 bulan kangmas, untuk apa kau membuat kulitnya coklat?"

"Itu malah bagus istriku! Artinya Buntala putraku sudah memiliki banyak pengalaman di laut di bandingkan bayi-bayi lainnya. Benarkan Buntala? Lagi pula Buntala laki-laki, kalau kau ingin memiliki anak yang cantik nanti kita buat adik perempuan untuk Buntala, dia pasti akan secantik dirimu" Rayu Byakta.

Jani yang sudah tidak tega dengan tangis hebat Buntala hanya bisa menghela nafas pasrah. "Baiklah Kangmas boleh mengajaknya main keluar sebentar."

Byakta langsung mencium pipi Jani dan dengan gesit keluar dari pintu, sebelum Jani mengubah pikirannya lagi ia dan putranya ini harus segera melarikan diri.

"Baiklah, hari ini Kau ikut Ayahanda melihat pasukan berlatih Buntala."

                             *****

Cinta Sang SenopatiWhere stories live. Discover now