Part 5

1.4K 112 2
                                    








"Betapa beraninya dirimu mencuri ditengah keramaian! apalagi mencuri kepada bangsawan. cihhh dasar orang rendahan cepat keluarkan uang nyai!" pelayan itu memandang dengan mata nyalang, sementara Jani hanya terdiam, mencoba mencari penjelasan dari reaksi sekitar.

Jani menerinyit bingung benar-benar buntu. "uang apa? Jangan menuduhku yang tidak-tidak ya! Berikan buktinya jika aku mencuri dari majikanmu!" Jani berkaitan dengan pelan namun dengan suara yang tajam. Dayang itu bertambah geram dan menggenggam pakaian bagian kerah Jani dengan kasar. "kau pikir kami buta? Jangan pikir karena kau berada ditengah kerumunan kami tidak menyadari nya!"

Baikla Jani mengakui dirinya memang gadis pendiam, namun diperlakukan semena-mena adalah pengecualian untuk gadis itu. "YAA KALIAN MEMANG BUTA! salah siapa kalo jalan gak pake mata.  Nyai sebagainya kau ganti pelayanmu yang kurang ajar ini dan pengawalmu..."

Belum usai Jani bicara pelayan itu sudah menyelak terlebih dahulu. "Kau memang seorang Sudra yang kurang ajar! Kau berani mencuri ditengah kerumunan dan bicara sangat kurang ajar di depan seorang bangsawan!" wanita bangsawan yang kira-kira usianya 17 tahun itu menaikkan dagunya angkuh mendengar pembelaan dari pelayannya dan menatap tajam Jani untuk mengintimidasi seorang yang dianggapnya sebagai Sudra rendahan.

Wanita bangsawan ingusan tidak membuat Jani gentar sama sekali, sebaliknya Jani malah merasa sangat kesal dengan sistem kehidupan di dunia ini. Namun saat ini menghindari masalah ada pilihan terbaik untuk Jani.

Jani mencoba bertutur kata dengan lembut disertai senyuman yang sangat jarang ia tunjukan. "Nyai aku bersumpah demi hidupku, aku tidak pergi kemanapun setibanya aku di sini. Apalagi pergi mencuri uangmu, lihat ini aku juga memiliki uangku sendiri" Jani menunjukkan sekantung uang yang ia temukan di laci kamarnya.

Wanita Bangsawan mengamati Kantung uang yang Jani bawa, kantung yang yang terbuat dari sutra berkualitas, dijahit sangat rapi dangan sulaman yang rumit juga menggunakan benang dengan warna yang sulit didapat di daerah ini.

Kecurigaan sang pelayan malah bertambah melihat kantung uang yang dimiliki Jani dan segera memperebutkan kantung uang itu untuk ditunjukkan kepada sang majikan.

Bangsawan muda itu menyipitkan mata penuh denga kecurigaan. "Ini memang bukan kantong uangku, tapi ini terlalu bagus untuk dimiliki seorang Sudra sepertimu. Biasanya kantong uang seperti itu hanya dimiliki para bangsawan yang sering bepergian ke ibu kota, jadi ini tidak mungkin milikmu!" Jani menghela nafas, tidak mungkin dia berkata dia seorang bangsawan ataupun adiknya Raden Raka.

Wajah sangar dan suara bariton Byakta mengalihkan perdebatan Jani dan sang bangsawan dan membuat suasana seketika senyap. "Wanita itu memang tidak mencurinya nyai, aku sedari awal melihat wanita ini datang dan dia memang tidak pergi kemanapun apalagi mencuri uangmu" Jani memperhatikan ekspresi wanita Bangsawan itu yang terlihat salah tingkah oleh kehadiran Byakta.

Byakta menatap gadis bangsawan itu sambil terus menjelaskan apa yang dilihatnya sedari tadi, nampak sekali wajah salah tingkah wanita itu. " baiklah itu hanya sekantung uang, lagipula tuan ini sudah menjelaskannya padaku. Aku tidak akan mempermasalahkan-nya lagi. Ambilah Sudra,mungkin kau sedang butuh uang untuk menghidupi diri atau keluargamu." Jani mengernyit heran dengan tingkah wanita itu gampang sekali ia dibujuk serta tiba-tiba menjadi dermawan. Wanita bangsawan serta prajurit dan dayangnya pun melangkah pergi diikuti kerumunan yang tadi menonton pertikaian mereka.

Jani menghadap kearah Byakta, penyelamatnya dari amukan Raden Raka malam ini. "Terimakasih banyak telah menyelamatkanku." Jani berusaha tersenyum sopan, namun Byakta hanya mengangkat alisnya seolah-olah tidak peduli. hal itu cukup membuat Jani kesal disisi lain namun di sisi lain Jani menjadi tahu bagaimana mengesalkan ekspresi yang sering ia tampilkan dimasa depan itu. Didalam hati gadis itu, ia berjanji akan menahan ekspresi seperti itu untuk kedepannya.

"Lain kali bawalah seseorang untuk kau ajak pergi, selain untuk menghindari hal semacam tadi juga untuk keamananmu karena tidak baik seorang gadis bepergian sendiri. " Jani hanya bisa tersenyum kaku mendengar nasihat dari pria asing, wajah serius Byakta dengan nada perhatian-nya seolah mengenal lama Jani.

Jani meneguk dengan senyum setipis tisu. "Baiklah lain kali aku akan lakukan seperti itu." Tidak ada salahnya berusaha beramah tamah dengan orang yang sudah menolongnya.

Byakta memandang Jani dengan tatapan mengamati, Jani yang ditatap seperti itu menjadi sebal. "Tatapanmu seperti orang mesum tuan!" Peringatan dari Jani berhasil membuat Byakta mengeluarkan deheman  untuk mengusir suasana canggung yang tiba-tiba tercipta.

Byakta pun segar mengalihkan pandangan-nya. " jangan kurang ajar aku Sudra! Aku mengamatimu karena kamu tidak bertingkah seperti Sudra yang biasanya kutemui, kau terlalu percaya diri untuk orang kasta Sudra. " Dan terlalu cantik tambah Byakta di dalam hati.

"Ya aku memang Sudra yang tidak biasa bukan? Sekali lagi terimakasih atas bantuan Tuan" Jani berbalik pergi, sementara Byakta terus memperhatikan Jani hingga punggung ramping itu tidak terlihat oleh pandangan matanya.

*****


Lima hari setelahnya

Satu Bulan sebelum perjamuan Jani dilaksanakan, Raka mengurung Jani dikamar tanpa di izinkan keluar selangkah pun. Rasanya Jani akan segera gila dengan situasinya, Jani benar-benar merasa bosan dan jengkel karena sama sekali tidak ada celah untuk keluar dari kamar Rinjani.

Hanya ditemani seorang pelayan setengah baya tidak bisa membuat Jani kehilangan suntuknya, bibi Laksmi sangat kaku dan angkuh dihadpan Jani. Semenjak kedatangannya tidak pernah Jani melihat wanita itu menunduk ataupun berbicara dengan lemah lembut kepadanya padahal bisa dibilang hubungan mereka seharusnya cukup istimewa dibandingkan dengan pelayan ataupun majikan lainnya.

Jani duduk bersimpuh membaca buku-buku yang ada dikamar Rinjani, begitu mendengar suara langkah bibi Laksmi juga mendengar suara Bibi Laksmi didepan kamarnya. Kali ini wanita setengah baya itu tidak sendirian, ia membawa seorang pria dibelakangnya.

Laksmi masuk kedalam kamar Rinjani tanpa mengetuk, Jani yang tidak mau mengambil pusing memilih mengabaikan ketidak sopanan itu. "Nyai, Raden Raka memerintahkan tabib memeriksa kondisi Nyai, tuan mengkhawatirkan nyai mengalami cedera kemarin, mari bibi bantu baring." Laksmi menuntun Jani begitu saja ke ranjang milik Rinjani.

Jani POV

Dengan segera tabib memeriksa tubuhku dari ujung kepala hingga kaki. Tabib itu akhirnya selesai menekan nekan denyut nadiku dari tadi, ia mengelengkan kepalanya kearah Bibi Laksmi yang diangguki wanita setengah baya itu. Rasa curiga mulai kurasakan ketika tabib menatap Bibi Laksmi sarat akan sesuatu.

Akhirnya Tabib itu pamit undur diri,aku membiarkannya begitu saja tidak pedul Bibi Laksmi bersimpuh di pinggir ranjangku. Aku memutuskan pura-pura tidak melihat dan menatap kosong ke atas, menatap kelambu yang di hinggapi kupu-kupu coklat emas yang cantik entah dari mana.

Dengan suara pelan ia berkata" Apakah Nyai menggugurkan bayinya Raden Raka?" aku tidak menyangka hubungan Raka dan Rinjani sejauh itu, masih kucoba pertahankan wajah tidak peduli ku sekuat tenaga, masih menatap kearah kupu-kupu yang tak kunjung pergi. Pantas saja pria tua itu menyuruhku memperbaiki masalah disini ternyata disini membuatku geleng-geleng kepala.

Kurasa aku memang harus. Berbohong tentang hal ini. "Ya,aku menggugurknan-nya." Bibi laksmi menghela nafas, aku tidak tau maksud dari helaan nafas itu entah rasa syukur atau rasa berat menerima kenyataan.

Wanita paruh baya itu segera berdiri dari duduknya yang bersimpuh. "aku akan siapkan air hangat untuk Nyai mandi, malam ini tuan Byakta dan prajuritnya akan berkunjung untuk memberikan seserahan"

"Prajuritnya?kemana keluarganya?"

"Keluarga tuan Byakta berada di Negeri sebrang yang sangat jauh Nyai." Aku terkejut mendengar itu, Jadi aku akan melakukan pernikahan dengan negeri seberang? rasanya aku ingin sekali memukul kepala Raka dengan batu atas sikap semena-menanya padaku.




_
_
_
_
_

Cinta Sang SenopatiWhere stories live. Discover now