E M P A T P U L U H

2.2K 153 6
                                    

Kata tak berdaya mungkin pantas untuk menggambarkan sosok Daren saat ini. Memang kepribadiannya sukar diatur jadi tak heran jika perkataan Aldevara yang menyuruhnya tinggal di Amerika beberapa hari lagi tak ia indahkan, akibatnya sekarang ia menjelma sebagai mayat yang terkapar di atas kasur. Efek jet lag yang belum usai harus ditambah dengan perjalanan selama satu hari. Terhitung sudah 3 kali pria sok kuat pergi ke kamar mandi untuk membuang isi perutnya.

"Kamu itu ngeyel banget ya dibilangin. Udah ngerasa jadi jagoan sekarang? Udah jarang jenguk Mommy ke rumah, pulang-pulang udah tepar," cerca Alana sembari membuka kemasan obat pereda sakit kepala. "Bangun dulu, minum obat terus tidur lagi."

Daren yang sudah tidak punya tenaga untuk menolak akhirnya pasrah, mengikuti instruksi sang ibu. Daren tidak suka rasa pahit dari obat, ia rasakan getir pada lidahnya. Setelah selesai meneguk satu pil dengan 3 tegukan air putih Daren kembali menjatuhkan diri. Ia sebenarnya tidak mengantuk hanya ingin memejamkan mata sebentar karena pusing yang luar biasa itu masih saja menyerang.

"Mommy, kepala aku pusing. Rasanya kayak gempa. Tolong pijat kepala aku," pinta Daren dengan suara lemas disertai bibir pucat.

Alana menurut, mulai memijat kening putranya yang dipenuhi keringat dingin. Ia usap alis tebal sang putra yang mengerut lantaran menahan rasa tak nyaman. Meski ia tak begitu dekat dengan Daren, Alana tetap tahu jika Daren paling tidak suka dengan rasa pusing, marah, gelisah. "Dibuat tidur aja, sayang—"

"Ehem!"

Alana lupa, ada sosok tinggi besar yang sedari tadi berdiri di sudut kamar dengan raut wajah yang tak sedap dipandang. Siapa lagi kalau bukan Skala? Pria tua yang kini merenggut kesal itu sedang cemburu, parahnya cemburu dengan anaknya sendiri.

"Kamu udah nggak pernah panggil aku sayang lagi," kata Skala sembari melipat tangan di depan dada. "Kenapa malah manggil sayang ke dia?"

Alana gemas sendiri, wanita berambut pirang itu lantas tertawa kecil, menggeleng, tak habis pikir dengan pola pikir suaminya yang masih saja kekanak-kanakan disaat usianya sudah menginjak kepala empat. "'Dia' yang kamu maksud itu anak kita, Skala."

"Tuh, kan. Kamu manggil aku cuma pakai nama. Giliran sama Daren pakai sayang. Pilih kasih!"

"Astaga Skala. Yang benar aja? Masak kamu cemburu sama anak sendiri?"

"Anak kita cowok."

Alana tertawa hingga kelopak matanya menyusut, menyisakan sedikit celah untuk menampilkan bola mata biru yang jernih. "Nggak ada yang bilang kalau anak kita perempuan. Dulu waktu muda aku minta bikin yang perempuan kamu nggak mau."

"Kita udah sering bahas ini, sayang. Aku nggak mau kamu ngerasain sakit waktu melahirkan untuk kedua kalinya."

Daren yang sedari tadi menahan agar tidak mual kini mulai muak. Sudah badan kebas, kepala pusing, dan perut seperti diaduk-aduk, ditambah pula dengan perdebatan tak mutu yang disebabkan Skala, Daren rasa ia sudah tidak sanggup.

"Alay banget, udah tua bukannya ingat umur malah makin jadi." Daren membuka mata sekilas guna melirik Skala dengan sinisan paling tajam. "Bisa keluar aja nggak? Kalau di sini cuma mau ganggu mending pergi."

Skala menggeleng, jelas tidak mau. Ia tak akan membiarkan Daren mengeksploitasi Alana dengan dalih sakit. Skala pun yakin, sedari tadi Daren pasti tengah berpura-pura sakit meski dengan mata kepalanya sendiri ia melihat putranya sempat pingsan.

Skala berdecih sembari menggulung kemejanya hingga sebatas siku "Ngerepotin banget."

"Kamu katanya mau kerja, kenapa nggak berangkat-berangkat? Itu kemejanya benerin lagi, jangan malu-maluin."

Darenio [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang