E N A M B E L A S

7.7K 261 3
                                    

"Bjir Daren kayak mumi."

Sebelum mereka masuk dalam ruangan ini sebenarnya sudah diwanti-wanti oleh dokter untuk diam atau paling tidak mengecilkan volume suara. Tapi yang namanya Gerry, mulut pria itu tak bisa disumpal dengan baik.

Sebenarnya Daren tidak boleh dijenguk karena kondisinya yang masih belum menunjukkan tanda-tanda membaik. Tapi Reano menggunakan kekuasaan yang dimilikinya karena rumah sakit ini milik keluarganya.

"Dia denger nggak ya?" tanya Diego sembari mendekatkan wajah ke telinga sahabatnya. "WOI DAREN!"

Beberapa peralatan masih melekat sempurna memenuhi tubuh Daren, mulai dari cairan infus yang menusuk sempurna di tangannya dan beberapa alat seperti kabel yang entah apa namanya menempel di dada pria itu. Ada beberapa bagian tubuhnya yang diperban, mulai dari punggung hingga perut sampai kepala. Sudah persis seperti apa yang dikatakan Gerry, Daren terlihat seperti mumi.

"Kalau boleh bawa hp, udah gue foto dari tadi terus di posting di instagram biar fans Daren pada ilfil," celetuk Gerry sembari memencet cairan infus, memainkannya seperti balon.

Reano menggeplak kepala sahabatnya itu agar berhenti memainkan cairan infus.

"Jangan dimainin tolol! Nyesel banget gue ngajak kalian kesini," hardik Reano yang kesal dengan tingkah kekanakan teman-temannya.

Diego tertawa melihat wajah tak terima Gerry yang hanya bisa diam lantaran takut dengan pemilik title orang terkaya di Indonesia. Bisa-bisa tubuhnya dibeli nanti saking banyaknya uang yang dipunya Reano.

"Ngapain ketawa?! Lo juga sama aja! Jangan teriak-teriak di dalam rumah sakit! Lo mau Daren budeg!?" Reano menghela napas berat. Capek juga punya teman kelakuan tidak ada yang benar.

Gerry, Reano, dan Diego sudah berteman dengan Daren sejak usia mereka 5 tahun. Persahabatan mereka awet lantaran kebetulan bersekolah di yayasan milik keluarga Reano yang sudah tersedia dari TK hingga perguruan tinggi. Terlebih mereka selalu satu kelas, walau Gerry otaknya memang paling sengklek diantara mereka, tapi jika disandingkan dengan orang lain Gerry itu termasuk orang yang lumayan pandai. Tak heran mereka selalu satu kelas walau peringkat Gerry terakhir di kelas.

"Gue mau cabut dulu ya," pamit Diego setelah sedari tadi sibuk mengecek smart watch-nya yang sudah terdapat pengingat.

"Mau ngapain?"

"Latihan biola."

"Gue boleh ikut nggak?" tanya Gerry.

Tanpa basi-basi pria keturunan Spanyol-Jawa itu menolak dengan tegas. "Nggak! Kalau sampe diem-diem ngikutin gue latihan, ikan lo yang baru bakal gue bakar."

Gerry bergidik ngeri membayangkan ikan barunya yang bernama Sumanto dibakar oleh Diego. Ia bahkan tak tega membayangkannya. Pria bermarga Mahendra itu mengalihkan pandang menatap Reano yang tengah menatapnya dengan datar.

"Lo ma—"

"Nggak ada, gue mau les matematika. Kalau lo mau ikut, ikut aja. Yang ada lo keburu mampus liat rumus, kepala lo yang kopong itu paling nggak kuat," katanya setengah mengejek. Memang, selain terkenal kaya raya pria pemilik peringkat 1 pararel itu memang terkenal pula mempunyai mulut pedas. 

"Terus gue gimana?"

"Gue tau lo nganggur. Tapi mending lo ikut cabut aja. Kalau lama-lama di sini yang ada Daren bakal mati denger suara lo," kata Reano sembari menarik kerah belakang bajunya. 

Diego tertawa melihat Gerry yang pasrah diseret keluar.

Sementara di lain tempat namun masih dalam satu gedung, gadis setinggi 170cm tengah terdiam lesu di dalam lift bersama belasan orang di dalam sana. Sesekali gadis itu menutup hidungnya kala mendapati seorang pria bertubuh gempal— yang sepertinya keluarga pasien—beraroma tidak sedap. Setelah sampai di lantai yang dituju, kaki jenjang berbalut flat shoes putih itu melangkah keluar dari lift.

Darenio [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang