E M P A T

12.1K 383 4
                                    

🦋

[E M P A T]

Sedari kecil Daren sudah terbiasa mengenai pandangan orang disekitarnya, seolah komentar merekalah yang akan mengatur bagaimana Daren nanti. Ia juga sadar, terlahir dari pebisnis besar seperti ayahnya tak akan pernah luput dari sorotan publik. Alasan itulah yang membuat si kecil Daren harus berbeda dengan anak lain.

Orang tuanya, atau lebih tepat ayahnya, sangat terobsesi dengan kata sempurna. Banyak cara yang ayah Daren lakukan untuk membuat anaknya berdiri tanpa cela. Tak tanggung-tanggung, sejak usia 7 tahun Daren sudah les mengenai tata krama bak anggota kerajaan. Pertemanan pun sudah diatur sejak ia memasuki bangku sekolah dasar. Bakat yang harus ia kuasai serta apa yang harus ia lakukan juga sudah ditentukan sedari kecil.

Daren pandai bermain piano. Ia harus bisa menguasai beberapa alat musik dan kala itu ia bersama teman- temanya tengah mempersiapkan diri untuk menampilkan festival musik tahunan.

Lapangan rumput hijau luas sudah ditata sedemikian rupa hingga mirip seperti pertunjukan musik instrumental. Puluhan meja dihias begitu menawan dengan dekorasi serba putih. Langit biru tanpa awan tampak menenangkan di atas sana.

Daren kecil tengah duduk di atas kursi, di depannya sudah ada piano yang menantinya. Ia tak sendiri, teman yang rata-rata berwajah bule juga turut memegang alat musik yang berbeda.

Di sana terlihat Skala, ayahnya yang tengah menatap datar. Berbanding terbalik dengan ibunya yang sudah bertepuk tangan heboh menyemangatinya. Daren hanya menghela napas berat menyaksikan para orang tua yang sibuk memujinya.

"Daren, you can do it!" teriak wanita cantik bersurai pirang dengan mata biru yang bersinar ceria, meyakinkan sang anak.

Bukannya senang, Daren malah malu diteriaki begitu. Ia mulai menekan tuts piano sebagai opening seperti yang diajarkan jauh-jauh hari. Semakin hidup lagi ketika biola kecil digesek dengan lembut oleh teman sebayanya kala itu. Daren ingat betul, dia bernama Diego, anak keturunan spanyol berdarah Jawa.

Setelah jarinya terasa pegal menekan tuts yang membosankan, Daren berhenti di tengah-tengah acara, membuat formasi musikal yang sudah ditata sedemikian rupa menjadi berantakan. Hanya terdengar suara biola dan klarinet saja.

Daren memang seperti itu. Tanpa beban ia beranjak dari kursi. Berjalan santai menuju belakang panggung seolah tak terjadi apa-apa. Tak mengindahkan teriakan pelatih yang menyuruhnya kembali.

"Anak itu," geram Skala menahan malu. Ia segera menghampiri anaknya menuju belakang panggung, disusul oleh istrinya yang terus melontarkan kalimat agar Skala tak memarahi pria kecilnya.

Tibalah mereka di belakang panggung dan mendapati anaknya yang tengah meraih botol minum, dengan rakus menegaknya hingga tandas. Itu hanya alibinya saja. Daren sudah licik sejak kecil.

"Why, Dad?" tanya Daren dengan alis terangkat, menatap bingung seolah tak ada yang terjadi.

Tentu saja, tabiat seorang Skala yang pemarah langsung bersiap berteriak mencaci sang anak yang sudah mengacaukan acara. Tapi gerakan lembut di lengannya serta kini segelintir orang tengah menatapnya membuat Skala harus menahan marah, mau tidak mau.

"Sayang, kenapa pergi ke sini? Acaranya belum selesai," tanya Alana—ibu Daren—dengan lembut.

Alana gemas sendiri ketika melihat Daren kecil menatapnya dalam, seperti melihat Skala ketika kecil. Mata coklat milik Skala yang melekat sempurna pada Daren, rambutnya yang coklat seperti milik Skala, dan hidung mancung milik Skala yang sempurna terpahat pada Daren.

Darenio [ON GOING]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon