T I G A P U L U H T U J U H

4.8K 202 7
                                    

Bantu revisi ya kalau ada typo🐟

Semesta memang kerap memberikan banyak kejutan, memberi banyak luka, memberi banyak rasa dalam setiap hembusan napas.

Lara, sakit yang mendalam masih begitu terasa sampai rasanya hati itu tak sanggup untuk sekedar bertahan. Leana bersandar pada dinding yang terasa dingin, menunduk dalam, menyembunyikan kepala diantara kaki yang tertekuk bersama surai yang kini menyentuh lantai.

Semua berantakan. Kamar yang didominasi warna putih bersih itu kini sudah hancur, tidak layak disebut sebagai kamar. Bau anyir tercium pekat, mengalahkan aroma pengharum ruangan itu, darah berceceran di lantai, mengalir deras dari lengan gadis itu.

Ia tidak menangis, Leana tidak pandai menangis, Leana tidak bisa menangis. Meski keinginan gadis itu sekarang hanya menangis, meraung hingga setidaknya sesak yang terus hinggap di dadanya segera sirna. Tapi yang ia bisa sekarang hanya terdiam, menikmati luka yang baru saja dibuatnya.

Gadis itu semakin menunduk, jauh dalam angannya, ia menerawang, mengingat kembali momen-momen beberapa tahun lalu. Momen ketika semua yang menyakitkan terasa biasa saja tatkala ada kakaknya yang akan membela. Momen ketika Leana merasa baik-baik saja meski ia tengah berdiri diantara lautan padang berduri. Momen ketika ia masih sanggup untuk bertahan meski badai terus menerpanya.

"Kamu nggak harus sempurna. Kadang manusia juga perlu merasa gagal." Kalimat itu, kalimat yang kerap dikatakan sang kakak, kembali terlintas dalam kepalanya.

Leana dikenal sebagai gadis yang ambisius dan obsesi terhadap angka. Tapi tingkahnya itu bukan tanpa alasan, hidup bersama keluarga yang keras tidak pernah mudah. Nilai kebahagian akan diukur dengan nilai di atas selembar kertas.

Dulu, ketika ia menginjak bangku kelas 11 SMA, untuk pertama kali dalam seumur hidup, Leana menjadi nomor dua. Gadis itu menjadi peringkat 2 pararel. Dan bentuk kekerasan baik verbal maupun fisik terus didapatkan dari sang ayah saat pria tua itu menerima selembar kertas dengan angka dua di dekat namanya. Ayahnya berubah, yang dulunya dingin kini berubah menjadi kejam, yang dulunya menatap datar kini menatapnya penuh benci. Semua karena kekalahan pertamanya itu. Leana benci kekalahan.

"Nggak semuanya harus sempurna Leana. Kamu boleh sesekali kalah," kata Sang Kakak kala itu sembari membantu Leana untuk mengompres luka di bagian pipinya.

Saat itu Leana pikir tidak apa jika sesekali kalah, karena ketika gadis itu merasa kalah ada setidaknya satu orang yang akan membela, membawanya dalam dekap, berusaha membuatnya lupa akan kesedihan, menariknya untuk keluar dari sesaknya dunia sejenak.

"Jangan pernah merasa sendiri. Jangan pernah berusaha untuk pergi, jangan sakiti diri kamu sendiri seperti ini ...."

Leana tertawa mengingat masa lalu itu, ia kemudian mengumpat sembari mengusap lengannya yang penuh akan luka sayatan.

Gadis itu lantas mencoba untuk berdiri, menopang tubuhnya yang terasa lemas, pandangannya berpendar, menatap setiap sudut kamar yang begitu berantakan. Leana meringis, masih tak percaya jika ruangan itu hancur karena dua tangannya itu.

Leana kemudian membungkuk, mengambil benda pipih yang tergeletak mengenaskan di atas lantai, dipandangi layar yang penuh goresan itu, ada balasan dari Daren. Pria itu nampak tak merasa bersalah ketika ia mengirim pesan tentang sifat Daren yang menyerupai monster. Pria itu ternyata benar-benar mengerikan ....

Pintu kamarnya dibuka, muncul pria paruh baya yang sudah berpakaian lengkap, stelan jas rapi dengan sepatu pantofel yang mengkilap. Leana menatapnya benci. Ayahnya tampak tidak sedih, seolah berita kematian putra sulungnya itu adalah hal yang biasa saja.

Darenio [ON GOING]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora