T I G A P U L U H E N A M

4.2K 196 7
                                    

Daren merasakan pening yang luar biasa. Meski semalam ia sempat berterima kasih pada dua kapsul penghantar tidur itu. Sekarang ia harus membayarnya dengan merasakan pening yang begitu hebat, pandangan yang mulai mengabur disertai goncangan seperti tengah menaiki wahana berputar. Daren diam sejenak, menahan mual yang mulai mendera. Ia kemudian berlari ke kamar mandi, memulai ritual membersihkan diri.

Wajahnya sudah terlihat lebih segar semenjak keluar dari kamar mandi. Kulit wajahnya tidak tidak lagi pucat, rambutnya juga sudah disisir seadanya dan justru terkesan simpel dan menawan. Tak lupa, aroma tubuh khas Daren semakin menguar ketika parfum dalam botol persegi disemprotkan ke beberapa titik tubuhnya. Daren kemudian mengambil permen mint yang tersedia di atas nakas, membuat napasnya kian harum dan dingin. Ia melirik jam digital di atas nakas, bersebelahan dengan satu kotak penuh berisi permen, pukul 12 siang. Masih belum terlambat untuk berangkat kuliah karen Daren ada kelas siang yang akan dimulai satu jam lagi.

Ia meraih ponsel beserta power bank, mengisi daya baterai ponselnya yang semalaman sekarat. Ia kemudian bergerak sedikit tergesa, memasukkan beberapa buku ke dalam ransel hitam turut serta dengan iPad dan serangkaian alat tulis lainnya.

Entah Daren yang terlalu fokus atau sosok atau bagaimana, pria itu sampai tak menyadari bahwa pintu apartemennya sudah membunyikan alarm bahwa ada seseorang yang masuk ke dalam ruangannya.

"Kamu nggak capek buat masalah terus?"

Pria dengan kaos hitam yang dilapisi jaket denim itu berbalik, menatap sang ayah yang sudah berdiri dengan stelan jas formal lengkap, rapi, tak ada kecacatan sedikit pun dari penampilan Skala meski pria tua itu menahan kusutnya pikiran. Skala menatapnya tajam, menghunus tepat pada retina sang putra.

"Nggak, ngapain capek? Aku kan cuma ngelakuin hal yang harus aku lakuin." Daren menutup ranselnya dalam sekali gerakkan. Menaruh benda hitam itu di atas pundaknya.

"Menghabisi nyawa orang itu termasuk hal yang harus kamu lakuin?" Skala menipiskan bibir. "Kamu baru berusia 22 loh, Ren. Tapi udah 2 orang yang kamu bunuh."

Daren kembali berkutat dengan meja belajarnya, mengambil beberapa buku yang perlu dibawanya, ia lalu menenteng benda tebal itu. "Bukan aku yang bunuh."

Tatanan rambut yang semuka rapi dan menawan kini mulai terlihat berantakan seiring dengan tangan Skala yang mengacak rambutnya sebagai bentuk kesalnya terhadap sang putra semata wayang. "Tapi kamu nyuruh orang buat bunuh. Itu sama aja. Kamu bisa nggak sih menghargai nyawa seseorang?"

"Nggak tau, Dad. Aku nggak akan mulai kalau nggak diusik. Kan kata Daddy kalau aku diganggu harus bales kan?"

Oke. Itu benar. Skala memang pernah berkata demikian karena saat itu usia Daren baru 7 tahun dan putranya selalu dijauhi oleh teman satu kelas hingga membuat Skala berspekulasi bahwa Daren di bully. Sehingga wajar saja bila Skala berpesan untuk membalas setiap perilaku seseorang agar putranya dapat bertahan.

Tapi untuk masalah kali ini ... Skala sampai pusing menghadapinya.

"Daddy tuh capek ya ngurus masalah kamu terus. Perusahaan tuh lagi sibuk-sibuknya, Daren. Jangan nambahin masalah." Skala mengambil oksigen dengan dalam, berharap emosinya kian reda. "Kalau kamu cuma buat masalah sama orang biasa Daddy masih bisa ngurus, tapi kamu tau nggak lagi berurusan sama siapa?"

Daren mengedikkan bahu tak acuh. Ia tidak merasa perlu untuk tau apapun meski sebenarnya ia sangat tau. Lagi pula Daren tidak takut apapun ketika bertindak. Daren begitu egois, tidak peduli dengan dampak yang akan terjadi akibat perbuatan yang dilakukannya.

"Leana itu bukan orang sembarangan Daren. Keluarganya punya 15% saham di Aldevara."

"Ya terus?"

Skala menghela napas berat, lelah jelas tercetak dalam rautnya. "Muka Daddy harus ditaruh dimana kalau keluarga mereka—"

Darenio [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang