(S3) 9. Penyesalan Tiada Arti

111 15 7
                                    

"Hah?" Singto terkejut mendengar perkataan dari Krist, dia tersenyum dan langsung mendudukkan dirinya. Tapi, kemudian dia pun menunduk sendu.

"Pasti Adek benci banget sekarang sama Abang, mengingat apa yang Abang katakan waktu itu." Ujar Singto dengan kepala yang menunduk, Krist pun duduk dan menghadap Singto. Memaksakan badannya yang begitu lemas, karena selesai pelepasan. Tangan Krist terulur untuk menyentuh pipi Singto, membuat Singto langsung mendongakkan kepalanya dan melihat ke arahnya.

"Adek emang marah sama Abang, Adek gak bohong." Ujar Krist sembari tersenyum. Singto menggerakkan kepalanya, membuat tangan Krist itu seolah mengelus pipinya.

"Maafin Abang, itu semua salah Abang yang gak dengerin penjelasan Adek, sedangkan Abang tau kalau Adek gak pernah mungkin buat bohong sama Abang." Ujar Singto menyesali apa yang telah dia perbuat dulu sampai membuat Krist menangis, dan membuat Krist dalam keadaan Kritis karena amarahnya.

"Gak apa Bang." Ujar Krist.

"Karena Abang juga, kita kehilangan calon anak kita." Singto lirih dibarengi dengan butiran air mata yang keluar dari kedua sudut matanya.

"Kalau Abang dulu gak gitu, kita gak mungkin sekarang kayak gini. Abang sekarang lagi ngelus perut Adek, sambil bicara sama calon anak kita. Abang nyesel Dek, Abang minta maaf." Ujar Singto dengan penyesalannya. Tapi, semua penyesalan itu sudah tiada artinya lagi. Krist yang mustahil untuk kembali mengandung, karena dia sudah tidak memiliki rahim. Semuanya sudah berlalu, penyesalan hanya tinggallah sesal.

"Sekarang udah berlalu Bang, tidak ada artinya juga menyesali apa yang udah terjadi. Lebih baik kita jalani hidup kita yang sekarang ini, jangan pernah mengungkit apa yang udah terjadi. Kata Abang juga kan, 'masalah cukup sampai dihari itu aja, jangan berkepanjangan'. Jadi, udah ya Bang, jangan nyesel lagi. Adek juga udah gak marah sama Abang, Abang juga wajar dulu marah sampai kayak gitu ke Adek. Abang pulang kerja capek, datang ke rumah liat Adek yang telanjang sama adik Abang sendiri. Adek ngerti kok." Krist tersenyum sembari mengangkat dagu Singto, membuat kedua manik mata mereka bertemu. Krist mengusap lembut pipi Singto, lalu mendekatkan wajahnya, mengecup singkat bibir Singto.

"Makasih Dek." Ujar Singto sembari memeluk tubuh Krist.

'Tok tok tok'

Ketukan di pintu kamar membuat keduanya menoleh, Singto segera memakai celana pendek, bekas Krist sebelumnya. Sedangkan Krist masih terduduk di kasur, badannya ditutupi oleh selimut.

"Iya Bi." Ujar Singto sembari berdiri.

"Mau makan sama Apa?" Tanya Dimar yang tengah berdiri sembari menundukkan kepalanya. Sudah biasa, tapi tetap saja Dimar masih terkejut kala melihat Singto yang berpenampilan seperti itu. Wajah tampan, tubuh yang sangat atletis. Jika saja Dimar masih muda, pasti sudah jatuh cinta pada Singto, walaupun harus ditampar oleh kenyataan bahwa Singto tidak akan mungkin menyukai perempuan.

"Saya minta Mie Goreng aja ya Bi, sama Adek juga. Minumnya jus jeruk aja." Ujar Singto sembari tersenyum.

"Baik Pak." Ujar Dimar sembari menganggukkan kepalanya, lalu pergi dari sana.

***

Derung sebuah mobil terdengar dari dalam rumah yang berada di pesisir pantai itu. Seorang lelaki turun dengan wajah lemas, memikirkan bagaimana nanti dia bisa mendekati lelaki yang sekarang menjadi tambatan hati. Dirinya sudah tidak mendapatkan restu dari saudaranya Gawin, ditambah dengan masalah sekarang yang membuatnya semakin susah untuk mendapatkan Gawin.

"Yaudah ya Joss, gua pamit." Ujar teman Joss dengan tangan yang memegang setir.

"Iya, hati-hati ya." Ujar Joss tersenyum dengan tangan yang diangkat dan melambai. Setelah kepergian teman-temannya itu, Joss menghilangkan senyumannya.

Seorang wanita muda nan cantik menghampiri dengan senyuman manis. Joss pun tersenyum secara terpaksa kala melihat senyuman kekasihnya itu. Bagaimana bisa dengan tega dia menyakiti hati wanita yang dia cinta.

"Kenapa Bang, wajahnya lesu amat." Ujar Love pada Joss, yang tahu jika senyuman Joss dilakukan secara terpaksa.

"Enggak kok sayang." Ujar Joss menyangkal, walaupun dia tahu bahwa dia tidak akan pernah bisa berbohong pada kekasihnya itu.

"Gak usah bohong Bang." Sanksi Love pada Joss.

"Enggak apa sayang, kamu aja yang terlalu banyak pikiran sama Abang." Kembali Joss menyangkal Love.

"Karena Gawin ya." Prediksi dari Love tepat sasaran, yang membuat Joss langsung menundukkan kepalanya, merasa bersalah.

"Maafin Abang, Yang." Ujar Joss, Love kemudian berjalan lambat yang diikuti oleh Joss dibelakangnya.

"Abang tau? Cinta gak bisa dipaksain, kan? Jadi Abang bisa memilih buat lepasin aku, terus kejar Gawin. Atau Abang berhenti buat kejar Gawin, dan tetap pertahanin aku." Dua pilihan yang sulit untuk Joss pilih. Bagaimana dia bisa melepaskan Love, seorang wanita yang paling dia cinta. Tapi, bagaimana juga dia bisa melepaskan Gawin, yang sebenarnya sudah lama dia cintai, tapi dia baru menunjukkannya saat insiden Gawin yang bunuh diri.

Joss menyelaraskan langkahnya dengan Love, lalu memegang bahu Love dan membalikkan badan kekasihnya itu. Memeluk erat tubuh mungil wanita yang selama ini sudah bersamanya.

"Abang egois ya sayang. Abang gak mau lepasin kamu, tapi Abang juga gak mau lepasin Gawin." Ujar Joss, terdengar egois memang. Tapi, dia tidak bisa melepaskan siapapun diantara pilihan yang Love sebutkan. Dia sangat mencintai wanita di depannya itu, tapi dia juga mencintai seorang lelaki yang dia rasa harus dilindungi oleh dirinya.

Sedangkan Love sendu, dia menahan sakit hatinya selama beberapa hari ini, lebih tepatnya kala Joss mengatakan jika Joss mencintai orang lain selain dirinya. Bagaimana pun juga, Joss ini adalah seorang biseksual. Jadi Love memaklumi jika suatu saat Joss akan menyukai seorang lelaki juga. Tapi, dirinya tidak pernah siap akan hal itu. Memangnya siapa yang tidak sakit hati kala orang yang kita cintai, mencintai orang lain juga. Siapa yang rela jika cintanya dibagi dua.

Berusaha untuk tersenyum, Love berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja, dikala hatinya tengah berkecamuk menahan sakit hati.

"Kita putus aja ya Bang." Ujar Love. Jika Joss tidak bisa memilih, maka dirinya yang harus memilih untuk pergi.

"Enggak sayang." Ujar Joss tidak menyetujui apa yang Love kehendaki. Dirinya sangat mencintai Love, bagaimanapun keadaannya sekarang.

"Abang gak bisa ngelakuin ini Bang, Abang tidak bisa menjalankan dua cinta sekaligus. Abang gak bisa milih juga, kan? Makanya, aku lebih memilih buat pergi, supaya Abang bisa ngejar dia."

"Tapi sayang."

"Udah Bang," Love tetap memaksakan untuk tersenyum walaupun itu sangat sulit dilakukannya, "Abang bebas buat ngejar dia. Aku tau kalau Abang cinta sama aku, tapi kembali lagi, Abang gak bisa menjalankan dua cinta sekaligus. Seseorang harus mengalah. Dan disini aku yang mengalah buat pergi dari hati Abang." Senyum terukir, tapi tidak dengan matanya. Lelehan air mata kepedihan akan kenyataan yang sekarang diterima membasahi pipi dari wajah cantik itu.

"Sayang," Joss menangkup pipi Love, dan mengusap lelehan air mata pada pipi itu, "kalau begitu, Abang bakalan ninggalin Gawin." Lanjut Joss, dia tidak rela melihat wanita yang dia sayangi menitikan air mata karena keegoisannya sendiri.

"Enggak Bang, Abang jangan lakuin itu, dia lebih butuh Abang daripada aku. Dia pernah bunuh diri, karena gak ada orang disampingnya. Abang harus menjadi orang yang selalu ada di sampingnya. Dia butuh bahu buat sandaran."

"Sayang."

"Aku berterima kasih sama Abang karena udah menjadikan aku wanita paling istimewa. Aku pamit dari hati Abang." Love pun pergi dari sana, dengan lelehan air mata yang masih menghiasi pipinya, dia dengan kasar mengusap air mata itu. Dengan sekuat tenaga dia menahan untuk mengeluarkan raungan tangis kesedihan, dadanya yang terasa sakit dia remas dengan kuat.

TBC

Jerk Roommate (S1-S3) [End]Where stories live. Discover now