(S2) 8. Kebenaran

118 13 19
                                    

"Dia ayah Abang." Ujar Singto akhirnya menerima fakta bahwa lelaki setengah baya itu memang ayahnya. Sang ayah tersenyum, lalu kembali menangis sembari memeluk Singto.

"Maafin ayah Sing, ayah gak ada maksud buat dulu ninggalin kamu sama nenek kamu." Ujar ayahnya Singto dengan tangan yang melingkar di badan Singto.

"Apa maksud ayah gak ada maksud buat ninggalin gua sama nenek?" Tanya Singto karena tidak mengerti akan maksud ayahnya tersebut.

"Hubungan Ibu sama ayah dulu tidak direstui sama nenek kamu, bahkan setelah ibumu hamil pun, nenekmu tidak pernah menerima pernikahan kami. Nenek kamu benci sama ayah, tanpa ayah tahu apa alasannya. Apalagi setelah kamu lahir dan Maprang meninggal, nenek kamu semakin membenci ayah." Ujar ayahnya Singto, dia pun melepaskan pelukan dari Singto dan menundukkan kepalanya.

"Terus?" Singto ingin mendengar lebih lengkap lagi cerita dari ayahnya itu.

"Ayah ingin membesarkan kamu, tapi nenek kamu melarang, katanya kamu cucu nya. Ayah enggak tau apa yang membuat nenekmu begitu membenci ayah, sehingga dia mengusir ayah dari sana. Ayah yang memang enggak punya siapa-siapa lagi pun pergi, awalnya ayah akan merawat kamu, tapi nenek mu melarang. Ayah bukannya tidak sayang sama kamu. Ayah selalu melihat kamu, ayah selalu menyempatkan untuk melihat kamu." Jelas sang ayah, menceritakan sebuah kisah. Singto tak lagi menangis, dia hanya menyimak akan apa yang ayahnya ceritakan, suasana pun hening, karena mendengar cerita dari ayah Singto. Terlepas dari benar atau tidaknya cerita dari pria setengah baya itu yang hanya menunduk sembari terus bercerita.

"Ayah selalu meminta izin untuk bertemu dengan kamu pada nenekmu, tapi dia tidak pernah membiarkan ayah untuk bertemu denganmu, sehingga ayah hanya bisa melihatmu dari kejauhan." Ayahnya Singto terus saja bercerita.

"Ayah bertemu dengan seorang wanita, itu adalah ibu dari Gawin, dan ayah menikah dengannya. Sehingga ayah berhenti untuk melihat kamu, karena ayah punya tanggung jawab akan istri ayah yang baru."

"Setelah mendengar kabar tentang nenekmu yang meninggal, ayah mencarimu lagi di kampung, tapi yang ayah lihat adalah tempat itu kosong tak berisi. Ayah setiap hari datang kesana untuk bisa melihatmu, tapi tidak pernah sekalipun ayah melihatmu disana. Hingga akhirnya ada tetangga yang bilang kalau kamu sudah tidak ada disana, diusir oleh paman dan tantemu karena perebutan warisan."

"Dari sana ayah kehilangan jejak akan kamu, ayah selama ini terus mencarimu, dengan anak ayah," sang ayah melihat ke arah Gawin, "dia adalah adikmu, dia adalah anak ayah." Gawin pun mendekat ke arah sang ayah, Singto melihat Gawin dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.

"Ibunya meninggal karena mengalami hal yang sama dengan ibumu, dia meninggal ketika melahirkan Gawin."

Singto tidak tahu harus berkata apa. Apakah dia harus mempercayai ayahnya yang notabenenya baru saja dia temui, atau membuang mentah-mentah cerita ayahnya tersebut. Tapi, yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah, 'kenapa neneknya membenci ayahnya?'.

***

"Yaudah ya Dek, Abang berangkat." Ujar Singto berpamitan pada Krist untuk bekerja. Sementara Krist masih saja terbaring di kasurnya, karena pinggangnya masih saja terasa ngilu.

"Iya Bang, hati-hati ya." Ujar Krist dengan tersenyum. Singto mengecup lembut kening dan pipi Krist secara bergantian.

Singto keluar dari kamar, dan tak lama kemudian terdengar derungan motor, menandakan bahwa Singto telah berangkat.

'Huft'

Krist membuang nafas, dia mengambil ponselnya dan menekan-nekan layar acak, tak tahu harus apa dia sekarang.

Jerk Roommate (S1-S3) [End]Where stories live. Discover now